Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Argas duduk di teras rumahnya. Puluhan warna bunga-bunga yang bermekaran dengan kilauan air memang terlihat menyejukkan. Segelas cokelat hangat menantang hawa dingin yang menyergap tubuh. Ingin rasanya berdiri di taman dan berkebun, menyiangi rumput-rumput liar yang mulai rimbun, dan memberi pupuk pada bunga-bunga yang kelaparan itu.
Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Bunda Argas datang membawa sweater, majalah untuk dibaca, dan setoples kue kering. Diletakkannya semua di meja, dan diberikannya sweater itu kepada Argas.
“Begini saja sudah cukup, Bunda. Sudah cukup hangat,” Argas merapatkan jaketnya, “sudah tidak perlu sweater.”
Bunda bersikeras.
“Iya, nanti aku pakai, Bun…” Argas akhirnya menyerah menerimanya. Bunda Argas tersenyum dan masuk ke dalam rumah lagi. Menatap Argas dengan penuh kasih sayang.
Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Pemandangan pegunungan yang indah dari teras rumah Argas tidak terlihat, sekarang tertutup kabut. Biasanya, siang begini terlihat deretan pinus diseberang bukit, batu-batu yang kokoh dan tegar memagari jurang, dan air terjun yang mengintip disela gelapnya hutan. Argas selalu menikmati pemandangan itu, sejak dulu, sejak dia kecil, sebelum dia melanjutkan sekolah di kota besar. Harum alam selalu membawa nostalgia kedalam memori terdalamnya.
Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Masih tidak beranjak dari tempat kesayangannya, kursi rotan dengan bantal-bantal di teras menghadap kebun bunga. Tulang punggungnya patah, Argas tidak bisa beranjak kemanapun, maka duduklah ia di tempat favoritnya, ketika tidak bisa kemana-mana bukanlah suatu masalah. Kebenciannya yang lagi-lagi meluap. Perenggut kaki kekasihnya, seorang pelari, yang dengan segala mimpinya untuk berlaga di olimpiade, kandas. Kecelakaan itu.
Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Masih teringat air mata Nala, yang lebih deras dari gerimis ini, dan lebih hening dari lembah ini, ketika tahu kakinya lumpuh. Rengkuhan Argas yang tidak terbalas, dan luka yang tidak akan sembuh. Mulut yang kelu, dan mata yang sendu. Kelebat memori yang merayu, membuat Argas hampir tidak mampu membendung air matanya.
Gerimis mulai mereda, namun justru ada yang mengalir deras di pipi Argas, ketika melihat sesosok wanita berkursi roda, dengan payung di tangan seorang lelaki kekar, Ayah wanita itu, tersenyum ke arah Argas. Seketika dia berteriak kepada Bundanya untuk dibukakan pintu pagar. Gerimis mulai mereda, seperti di siang tiga minggu kemarin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar