27 Sep 2012
26 Sep 2012
Dreams.
Ini adalah fiksi tentang mimpi.
Dimana angan-angan adalah suatu batas yang tidak pasti.
Dimana kamu akan dihadang imajinasi.
Kamu tidak akan takut dan berlari,
aku yakin pasti,
kamu pasti menghampiri.
Ini hanya mimpi.
Sebuah fiksi tentang mimpi.
*
Aku terhentak.
Aku berdiri, sendiri, ditengah ruangan besar tanpa garis horizon.
Ini tidurku.
Lalu aku menyusuri jalan dalam diam.
Putih.
Ini tidurku.
Putih, dimana-mana putih.
Lantai marmer yang entah mengapa terasa di kakiku, dingin.
Ini tidurku.
Aku mau terus kemana?
Ruangan ini tanpa batas.
Aku memang tidak letih, tapi aku tidak mau berjalan lebih jauh dari ini.
Ini tidurku.
Aku mendengar senandung lagu.
Ini tidurku.
Apa aku harus berlari?
Menjauhkah? Mendekatkah?
Ini tidurku.
Aku mencapai sebuah tembok.
Tembok yang sebelumnya tidak pernah terlihat dari sudut pandang lelapku.
Aku berhenti.
Aku harus berhenti.
Tentu saja.
Ini tidurku.
Aku mulai berjalan menyusuri tembok.
Terus, terus sampai jauh.
Ini tidurku.
Hei.
Ada orang disana.
Ini tidurku.
Lelaki.
Seorang lelaki bertengger di tembok.
Duduk di jendela besar yang tertanam di tembok.
Tangannya memetik gitar, dan dari mulutnya terdengar suara berirama.
Dia bernyanyi rupanya.
Ini tidurku.
Dia menoleh.
Tangannya berhenti memetik gitar.
Mulutnya berhenti bersenandung.
Dari sudut bibirnya muncul seulas senyum.
"Hei," begitu katanya, ketika aku diam-diam memandanginya.
Ini tidurku.
Dan aku tidak mau bangun dari mimpi.
Lelaki ini, melewati batas imajinasi yang kubentuk sendiri.
Dimana angan-angan adalah suatu batas yang tidak pasti.
Dimana kamu akan dihadang imajinasi.
Kamu tidak akan takut dan berlari,
aku yakin pasti,
kamu pasti menghampiri.
Ini hanya mimpi.
Sebuah fiksi tentang mimpi.
*
Aku terhentak.
Aku berdiri, sendiri, ditengah ruangan besar tanpa garis horizon.
Ini tidurku.
Lalu aku menyusuri jalan dalam diam.
Putih.
Ini tidurku.
Putih, dimana-mana putih.
Lantai marmer yang entah mengapa terasa di kakiku, dingin.
Ini tidurku.
Aku mau terus kemana?
Ruangan ini tanpa batas.
Aku memang tidak letih, tapi aku tidak mau berjalan lebih jauh dari ini.
Ini tidurku.
Aku mendengar senandung lagu.
Ini tidurku.
Apa aku harus berlari?
Menjauhkah? Mendekatkah?
Ini tidurku.
Aku mencapai sebuah tembok.
Tembok yang sebelumnya tidak pernah terlihat dari sudut pandang lelapku.
Aku berhenti.
Aku harus berhenti.
Tentu saja.
Ini tidurku.
Aku mulai berjalan menyusuri tembok.
Terus, terus sampai jauh.
Ini tidurku.
Hei.
Ada orang disana.
Ini tidurku.
Lelaki.
Seorang lelaki bertengger di tembok.
Duduk di jendela besar yang tertanam di tembok.
Tangannya memetik gitar, dan dari mulutnya terdengar suara berirama.
Dia bernyanyi rupanya.
Ini tidurku.
Dia menoleh.
Tangannya berhenti memetik gitar.
Mulutnya berhenti bersenandung.
Dari sudut bibirnya muncul seulas senyum.
"Hei," begitu katanya, ketika aku diam-diam memandanginya.
Ini tidurku.
Dan aku tidak mau bangun dari mimpi.
Lelaki ini, melewati batas imajinasi yang kubentuk sendiri.
25 Sep 2012
Cerita yang Tidak Akan Pernah Selesai - Seperempat Latihan Menulis, Tigaperempat Iseng.
Siska.
"MAHA!" teriakan itu menggema di ruang kuliah B3, lantai kedua gedung Sutjipto Mangunharjo, tempat para mahasiswa-mahasiswi menangani masalah gigi anak-anak kecil, gedung kedokteran gigi anak.
Mahardika, si empunya nama, menoleh, sedikit malu, ke sumber suara.
Gigi.
Regina.
Regina Kamelia.
Anak kelas sebelah ini, sahabat baik Mahardika, sejak SMP kalau tidak salah.
"Bruk!" sebuah tas kulit berwarna cokelat mendarat dengan cantik di pangkuan Maha.
"Kenapa, Gi?" tanya Maha, dengan suaranya yang pelan, seperti biasa.
"Aku titip dong Ma, hehehe, nanti tolong anterin ke kos aku ya Ma.."
"Kamu kok sembarang... hey! Hey mau kemana Gi?"
Gigi sudah melesat bagaikan anak panah, lincah menuju sasaran, yang entah apa.
Mahardika mendengus, tapi tanpa ditahan menyimpulkan seulas senyum, tidak bisa tertahan.
"Hei, Dika!" seorang perempuan – satu dari seratus sebelas orang mahasiswi di angkatannya – menepuk bahu Mahardika. Buru-buru disimpannya senyuman kecil itu. Cukup dia saja yang tahu. "Sedang apa sih? Hm...?" Pertanyaan Siska berhenti ketika melihat sebuah tas, bukan milik Mahardika tentu.
"Oh," gumam Mahardika seolah mengerti, "ini, punya Gigi... err, Regina."
"Ah," Siska, paham. Tentu saja, Regina.
"Ada apa, Ka?" tanya Mahardika.
"Anu, aku mau minta modul praktikum prosto. Masih ada, kan?"
*
Angger.
Siska melamun. Setidaknya itu yang diperhatikan Angger, walau hanya dari kejauhan. Pandangan matanya kosong, tangannya menggoyang-goyangkan pulpen, untaian rambut keluar dari ikatan, mulutnya seperti menyenandungkan sesuatu, hanya saja tanpa suara.
"Angger, ayo bareng pulangnya," Mahardika, salah satu teman laki-laki, yang terbilang jarang di kampus ini, yang paling pendiam, menyenggol punggungnya.
"Eh, ya, ayo," Angger beranjak dari kursinya, menoleh terakhir kalinya ke kursi Siska, yang dari sudut matanya menangkap bayangan Mahardika.
*
Mahardika.
Sudah pukul empat sore. Gigi memang begini, kebiasaan, sulit sekali balas sms. Mahardika menunggu Gigi didepan rumah kosannya. Pagar hitam menjulang itu digembok, sepi. Mahardika menunggu dengan santai diatas motor merahnya.
Sudah satu jam.
Diambilnya buku sketsa dari dalam tasnya, hobi Mahardika yang tidak pernah bisa ditinggalkan. Matematika.
Sementara otaknya memanas karena soal matematika dasar yang sulit dipecahkannya, langit semakin oranye karena senja.
"Aku pergi lagi ya, Ngger" ucap Mahardika tadi.
"Lho, kamu mau pergi? Aku pikir ada apa kamu ajak aku pulang," Angger heran, setengah kesal juga, padahal kalau Mahardika tidak mengajak dia pulang, dia ingin menghampiri Siska, setidaknya berusaha menghapus mendung di matanya.
Entah elakan apa lagi yang Mahardika lontarkan, sampai akhirnya Angger hanya tidur-tiduran dikosannya, raut wajahnya agak cemas dan memikirkan sesuatu, hanya masalah waktu sampai Mahardika tahu bahwa Angger menghawatirkan Siska.
"Kamu mau ngapain sih Dik?" tanya Angger penuh tanda tanya.
Mahardika menghela napas. Ia juga tidak tahu sedang apa dia disini.
*
Regina.
"ASTAGA! MAHARDIKA!" Gigi melonjak terkejut, Maya dan Desi ikut terkejut. Kemudian mereka berdua tersenyum penuh arti.
"Kenapa Mahardika, Gin?" goda Desi.
"Aku titipin tas aku di dia lho!" ujar Gigi penuh sesal.
"Hah? Gimana ceritanya sih Gin?" Maya dan Desi kebingungan, sementara Gigi sudah keluar dari foodcourt, mencegat taksi dan pulang ke kosan. Berharap Mahardika tidak menunggunya, atau dia akan merasa sangat bersalah.
Dan, pesan-pesan ini terkirim di malam itu.
From: Angger
To: Siska
Message: Siska bsk jgn lupa makalah Radiologi Dental ya.
Batin Angger bersyukur bahwa dia ditempatkan satu kelompok dengan Siska, menunggu semoga SMS basa basi itu bisa menjadi pembuka yang baik.
From: Siska
To: Mahardika
Message: Dika, makalah radiologi final ada di kamu ya? di print ya. :)
"Drrrt," ponsel Siska bergetar. Berharap mendapat balasan dari Mahardika, menunggu semoga SMS basa basi itu bisa menjadi pembuka yang baik. Angger. Siska mendengus, bukan Angger yang ia tunggu.
From: Mahardika
To: Regina
Message: Gigi cpt pulang jgn kelamaan diluar, dingin, nanti sakit.
Message delivered. Sudah empat jam sejak pukul empat sore. Mahardika memilih untuk tidak pulang.
From: Regina
To: Mahardika
Message: Kamu dimana Maha?
Battery to low for radio use. Sinyal hilang, khawatir Regina mulai muncul.
Keesokan harinya, Mahardika tidak muncul karena flu, Siska yang bad mood sekaligus khawatir karena Angger yang datang dengan makalah yang seharusnya diberikan oleh Mahardika, Angger yang sedikit cemburu - ketika Siska menanyakan kabar Mahardika, dan Regina, yang bolak-balik apotek naik sepeda, mencari obat flu yang paling mujarab untuk menyembuhkan Mahardika.
Keesokan harinya lagi, Regina penuh luka gores karena jatuh dari sepeda. Kemarin hari pertama Regina bisa naik sepeda, ia dedikasikan untuk Mahardika yang terbaring flu dan demam ditemani nyamuk-nyamuk penghuni kamar.
"MAHA!" teriakan itu menggema di ruang kuliah B3, lantai kedua gedung Sutjipto Mangunharjo, tempat para mahasiswa-mahasiswi menangani masalah gigi anak-anak kecil, gedung kedokteran gigi anak.
Mahardika, si empunya nama, menoleh, sedikit malu, ke sumber suara.
Gigi.
Regina.
Regina Kamelia.
Anak kelas sebelah ini, sahabat baik Mahardika, sejak SMP kalau tidak salah.
"Bruk!" sebuah tas kulit berwarna cokelat mendarat dengan cantik di pangkuan Maha.
"Kenapa, Gi?" tanya Maha, dengan suaranya yang pelan, seperti biasa.
"Aku titip dong Ma, hehehe, nanti tolong anterin ke kos aku ya Ma.."
"Kamu kok sembarang... hey! Hey mau kemana Gi?"
Gigi sudah melesat bagaikan anak panah, lincah menuju sasaran, yang entah apa.
Mahardika mendengus, tapi tanpa ditahan menyimpulkan seulas senyum, tidak bisa tertahan.
"Hei, Dika!" seorang perempuan – satu dari seratus sebelas orang mahasiswi di angkatannya – menepuk bahu Mahardika. Buru-buru disimpannya senyuman kecil itu. Cukup dia saja yang tahu. "Sedang apa sih? Hm...?" Pertanyaan Siska berhenti ketika melihat sebuah tas, bukan milik Mahardika tentu.
"Oh," gumam Mahardika seolah mengerti, "ini, punya Gigi... err, Regina."
"Ah," Siska, paham. Tentu saja, Regina.
"Ada apa, Ka?" tanya Mahardika.
"Anu, aku mau minta modul praktikum prosto. Masih ada, kan?"
*
Angger.
Siska melamun. Setidaknya itu yang diperhatikan Angger, walau hanya dari kejauhan. Pandangan matanya kosong, tangannya menggoyang-goyangkan pulpen, untaian rambut keluar dari ikatan, mulutnya seperti menyenandungkan sesuatu, hanya saja tanpa suara.
"Angger, ayo bareng pulangnya," Mahardika, salah satu teman laki-laki, yang terbilang jarang di kampus ini, yang paling pendiam, menyenggol punggungnya.
"Eh, ya, ayo," Angger beranjak dari kursinya, menoleh terakhir kalinya ke kursi Siska, yang dari sudut matanya menangkap bayangan Mahardika.
*
Mahardika.
Sudah pukul empat sore. Gigi memang begini, kebiasaan, sulit sekali balas sms. Mahardika menunggu Gigi didepan rumah kosannya. Pagar hitam menjulang itu digembok, sepi. Mahardika menunggu dengan santai diatas motor merahnya.
Sudah satu jam.
Diambilnya buku sketsa dari dalam tasnya, hobi Mahardika yang tidak pernah bisa ditinggalkan. Matematika.
Sementara otaknya memanas karena soal matematika dasar yang sulit dipecahkannya, langit semakin oranye karena senja.
"Aku pergi lagi ya, Ngger" ucap Mahardika tadi.
"Lho, kamu mau pergi? Aku pikir ada apa kamu ajak aku pulang," Angger heran, setengah kesal juga, padahal kalau Mahardika tidak mengajak dia pulang, dia ingin menghampiri Siska, setidaknya berusaha menghapus mendung di matanya.
Entah elakan apa lagi yang Mahardika lontarkan, sampai akhirnya Angger hanya tidur-tiduran dikosannya, raut wajahnya agak cemas dan memikirkan sesuatu, hanya masalah waktu sampai Mahardika tahu bahwa Angger menghawatirkan Siska.
"Kamu mau ngapain sih Dik?" tanya Angger penuh tanda tanya.
Mahardika menghela napas. Ia juga tidak tahu sedang apa dia disini.
*
Regina.
"ASTAGA! MAHARDIKA!" Gigi melonjak terkejut, Maya dan Desi ikut terkejut. Kemudian mereka berdua tersenyum penuh arti.
"Kenapa Mahardika, Gin?" goda Desi.
"Aku titipin tas aku di dia lho!" ujar Gigi penuh sesal.
"Hah? Gimana ceritanya sih Gin?" Maya dan Desi kebingungan, sementara Gigi sudah keluar dari foodcourt, mencegat taksi dan pulang ke kosan. Berharap Mahardika tidak menunggunya, atau dia akan merasa sangat bersalah.
Dan, pesan-pesan ini terkirim di malam itu.
From: Angger
To: Siska
Message: Siska bsk jgn lupa makalah Radiologi Dental ya.
Batin Angger bersyukur bahwa dia ditempatkan satu kelompok dengan Siska, menunggu semoga SMS basa basi itu bisa menjadi pembuka yang baik.
From: Siska
To: Mahardika
Message: Dika, makalah radiologi final ada di kamu ya? di print ya. :)
"Drrrt," ponsel Siska bergetar. Berharap mendapat balasan dari Mahardika, menunggu semoga SMS basa basi itu bisa menjadi pembuka yang baik. Angger. Siska mendengus, bukan Angger yang ia tunggu.
From: Mahardika
To: Regina
Message: Gigi cpt pulang jgn kelamaan diluar, dingin, nanti sakit.
Message delivered. Sudah empat jam sejak pukul empat sore. Mahardika memilih untuk tidak pulang.
From: Regina
To: Mahardika
Message: Kamu dimana Maha?
Battery to low for radio use. Sinyal hilang, khawatir Regina mulai muncul.
Keesokan harinya, Mahardika tidak muncul karena flu, Siska yang bad mood sekaligus khawatir karena Angger yang datang dengan makalah yang seharusnya diberikan oleh Mahardika, Angger yang sedikit cemburu - ketika Siska menanyakan kabar Mahardika, dan Regina, yang bolak-balik apotek naik sepeda, mencari obat flu yang paling mujarab untuk menyembuhkan Mahardika.
Keesokan harinya lagi, Regina penuh luka gores karena jatuh dari sepeda. Kemarin hari pertama Regina bisa naik sepeda, ia dedikasikan untuk Mahardika yang terbaring flu dan demam ditemani nyamuk-nyamuk penghuni kamar.
22 Sep 2012
Mewawancarai Diri Sendiri Itu, Gila dan #ForeverAlone, Apalagi Ini Malam Minggu.
Buona notte!
Kali ini, saya coba untuk tulis menulis mengenai 'Saya'.
Mungkin (atau pasti)pada bingung yah, like,
"ngapain sih si Tita nih, pengen eksis po?"
"apaan sih si Tita, cari perhatian banget!?"
Bikin Q&A aja deh. Biar gaul. Nanya sendiri, jawab sendiri.
Q: Tita, lagi apah?
A: Ini, lagi ngetik.
Q: Gak ngerjain stomatognasi?
A: Nggg, ntar yah abis ini.
barusan aja kaget, karena tiba-tiba buffer YouTube nya jalan.
Q: Kaget ya Ta?
A: Iya, hehe
Q: Mau tanya dong.
A: Sok.
Q: Kamu gak sukanya apa sih?
A: Ooooooh banyak!
Q: Banyak yah? Pasti males kan nulisnya, kamu selalu bilang "Panjang ceritanya"
A: Yo ganti lah pertanyaannya.
Q: Kamu sukanya apa?
A: Aku gak suka yang mainstream.
Q: Bukan itu lho pertanyaannya.
A: Mau dijawab gak?
Q: Oke, maksudnya kamu mainstream apa sih?
A: Definisi mainstream menurut aku itu, arus utama atau aliran utama
Q: Bohong, itu kan kata Google Translate. Seriusan lah.
A: Iyah, tapi aku gak suka yang mainstream. Like, "Nonton Twilight yuk, bagus lho bla..bla..bla", nah sebenernya aku sih gak suka, kalo udah banyak yang suka. Rasanya kaya, I find no originality gitu. Menurut aku, segala hal yang orisinil itu nilainya selalu lebih. Gak mudah terpengaruh sama hal-hal yang biasa. Jadi followers itu gak keren. Lebih baik jadiin trendsetter inspirasi, terus bikin gebrakan baru. Meskipun gak gitu juga sih. Aku gak mengaplikasikan prinsip itu ke segala hal, contohnya, yah Blogspot juga banyak yang suka, toh aku nulis juga kan. Lha kalo aku gak suka, ya aku gak nulis disini.
Q: Kok gak nyambung sih korelasinya sama film Twilight?
A: Eh iya yah, maaf yah, suka ngelantur hehe. Jadi gini lah intinya, saya gak suka, kalo udah banyak yang suka, terutama film sama musik. Contohnya, saya gak suka Taylor Swift bukan karena saya gak suka lho, tapi karena banyak yang suka, saya kehilangan interest sama si Mbak Taylor ini, dan gak nangkep enaknya musiknya doski. Kecuali, kalo dia bener-bener unik. Contohnya, mmm, L`arc~en~Ciel? Banyak kok musik setipe sama Taylor Swift, jarang nemu yg kayak Laruku.
Q: Film Twi...
A: Iya iya ih, kenapa sih sama film Twilight!?
Q: Apa yang kamu suka tapi mainstream juga?
A: Film? Inception. Keren tuh. Worthy lah walaupun orang bilang "dafuq, lu suka Inception!? That's too mainstream!"
Q: Buku?
A: Ada dua kategori yang saya cari dari buku. Menurut saya, pertama, gaya berbahasa seseorang itu sangat-sangat berkarakter, jadi saya suka banget baca buku yang bahasanya gak biasa, apik. Kedua, obviously, akal, ide, dan jalan pikiran orang itu berbeda-beda, jadi saya juga suka banget baca buku yang ceritanya gak biasa. Itu aja sih, dua kriteria saya buat buku. Simple. Menurut saya, ada penulis yang bisa mencakup dua-duanya, Andrea Hirata, beliau bikin gebrakan yang besar banget di otak kanan saya.
Q: Sana kerjain stomatognasi.
A: Iya deh belum bikin Adam clasp juga.
Q: Apaan lagi tuh?
A: Ah, panjang ceritanya.
Arrivederci!
Mungkin (atau pasti)pada bingung yah, like,
"ngapain sih si Tita nih, pengen eksis po?"
"apaan sih si Tita, cari perhatian banget!?"
terus aku kudu piye?
Bukan, bukan.
Saya cuma pengen nulis, tapi entah mengapa kalo saya bikin suatu fiksi, keadaannya jadi suram lho. Ceritanya selalu sedih. Sebenernya saya gak tega sih bikin tokoh-tokoh saya jadi sedih, tapi semuanya terjadi begitu saja. Untunglah saya bukan Tuhan. Kasihan hamba-hamba saya kalau saya bikin plot mereka sedih.
Saya pengen nggambar, sudah sih. Tapi gak ada scanner. Kalo gak ada scanner gak bisa di scan. you dont say? kalo gak di scan gak bisa masuk laptop. Terus aku kudu piye?
Q: Tita, lagi apah?
A: Ini, lagi ngetik.
Q: Gak ngerjain stomatognasi?
A: Nggg, ntar yah abis ini.
barusan aja kaget, karena tiba-tiba buffer YouTube nya jalan.
Q: Kaget ya Ta?
A: Iya, hehe
Q: Mau tanya dong.
A: Sok.
Q: Kamu gak sukanya apa sih?
A: Ooooooh banyak!
Q: Banyak yah? Pasti males kan nulisnya, kamu selalu bilang "Panjang ceritanya"
A: Yo ganti lah pertanyaannya.
Q: Kamu sukanya apa?
A: Aku gak suka yang mainstream.
Q: Bukan itu lho pertanyaannya.
A: Mau dijawab gak?
Q: Oke, maksudnya kamu mainstream apa sih?
A: Definisi mainstream menurut aku itu, arus utama atau aliran utama
Q: Bohong, itu kan kata Google Translate. Seriusan lah.
A: Iyah, tapi aku gak suka yang mainstream. Like, "Nonton Twilight yuk, bagus lho bla..bla..bla", nah sebenernya aku sih gak suka, kalo udah banyak yang suka. Rasanya kaya, I find no originality gitu. Menurut aku, segala hal yang orisinil itu nilainya selalu lebih. Gak mudah terpengaruh sama hal-hal yang biasa. Jadi followers itu gak keren. Lebih baik jadiin trendsetter inspirasi, terus bikin gebrakan baru. Meskipun gak gitu juga sih. Aku gak mengaplikasikan prinsip itu ke segala hal, contohnya, yah Blogspot juga banyak yang suka, toh aku nulis juga kan. Lha kalo aku gak suka, ya aku gak nulis disini.
Q: Kok gak nyambung sih korelasinya sama film Twilight?
A: Eh iya yah, maaf yah, suka ngelantur hehe. Jadi gini lah intinya, saya gak suka, kalo udah banyak yang suka, terutama film sama musik. Contohnya, saya gak suka Taylor Swift bukan karena saya gak suka lho, tapi karena banyak yang suka, saya kehilangan interest sama si Mbak Taylor ini, dan gak nangkep enaknya musiknya doski. Kecuali, kalo dia bener-bener unik. Contohnya, mmm, L`arc~en~Ciel? Banyak kok musik setipe sama Taylor Swift, jarang nemu yg kayak Laruku.
Q: Film Twi...
A: Iya iya ih, kenapa sih sama film Twilight!?
Q: Apa yang kamu suka tapi mainstream juga?
A: Film? Inception. Keren tuh. Worthy lah walaupun orang bilang "dafuq, lu suka Inception!? That's too mainstream!"
Q: Buku?
A: Ada dua kategori yang saya cari dari buku. Menurut saya, pertama, gaya berbahasa seseorang itu sangat-sangat berkarakter, jadi saya suka banget baca buku yang bahasanya gak biasa, apik. Kedua, obviously, akal, ide, dan jalan pikiran orang itu berbeda-beda, jadi saya juga suka banget baca buku yang ceritanya gak biasa. Itu aja sih, dua kriteria saya buat buku. Simple. Menurut saya, ada penulis yang bisa mencakup dua-duanya, Andrea Hirata, beliau bikin gebrakan yang besar banget di otak kanan saya.
Q: Sana kerjain stomatognasi.
A: Iya deh belum bikin Adam clasp juga.
Q: Apaan lagi tuh?
A: Ah, panjang ceritanya.
Arrivederci!
Langganan:
Postingan (Atom)