Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Gedungnya terbuat dari kayu.
Kaca jendelanya menghadap pepohonan.
Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Ditemani secangkir kopi, yang tidak terlalu pahit.
Suara gerimis bersahutan diatas atap.
Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Sendirian bergelung dibalik selimut.
Sambil mendengarkan musik berirama senja.
Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Biarlah lantainya berserakan kertas sketsa.
Dan remahan penghapus.
Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Yang di sudut ruangannya ada koper-koper cokelat.
Yang terbuka bekas aku pergi, yang tertutup menunggu untuk pergi bersamaku.
Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Ada meja bundar di depan sofa, diatasnya ada setangkai bunga.
Warnanya oranye.
Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Tempat aku menikmati dengusan seekor german shepherd.
Sembari memandangi paspor dengan ratusan stempel imigrasi berbagi negara.
Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Dan mendengar ketukan dari luar.
Mungkin ada kamu, dibawah gerimis.
Yang ketika kubukakan pintu,
kamu akan berkata,
"Ayo kita berangkat ke Praha."
*
Saya ingin berpetualang ke dan di luar negeri.
28 Nov 2012
25 Nov 2012
Rumah.
Kalian pasti berpikir kalau "Rumah" adalah berarti pulang. Kalau kalian kenal saya, kalian pasti langsung berpikir tentang sebuah daerah super panas di ujung barat pulau Jawa sana, di dekat pantai-pantai, kawasan-kawasan industri, transit para penyebrang pulau, dan pabrik baja.
Rumah, dalam bahasa Inggris bisa dua. Home dan house. Ketika kita berbicara tentang house maka adalah gedung, tempat kita merasa feels like home.
House adalah tempat kita tinggal.
Sedangkan home adalah tempat tinggal kita.
Tipis, tapi setidaknya itu yang saya rasakan.
Tapi.
Saya punya perasaan yang sangat aneh.
Saya sendiri tidak bisa menggambarkan.
Saya baru membaca The Geography of Bliss karya Eric Weiner. Sebuah buku tentang pencariaan kebahagiaan secara geografis. Tuan Weiner mencari tempat-tempat yang paling membahagiakan di dunia. Saya, tidak bisa dipungkiri, iri, iri sekali, sama Tuan Weiner ini. Well, dia menikmati udara Islandia, India, Bhutan, Thailand, Qatar, bahkan - yang saya belum pernah dengar namanya - Maldova, dia belajar budaya, dan dia mencari kebahagiaan. Walaupun tidak semuanya membuat dia bahagia. Chapter terakhir dia adalah Amerika - Ketika Kebahagiaan adalah Rumah. Tuan Weiner ini sangat Amerika, anyway. Menggambarkan dimana orang-orang Amerika akan bahagia ketika mereka telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai "Rumah" entah itu Miami, Michigan, Asheville di Carolina Utara - banyak teman-teman dari Tuan Weiner yang pindah kesana, merasa akan mendapat bahagia, walaupun tidak sepenuhnya merasa tempat itu akan menjadi "rumah"nya.
Kembali ke perasaan saya yang sangat aneh.
Saya ingin kembali ke Jepang.
Saya ingin kembali ke Kyoto.
Ketika saya membaca Ketika Kebahagiaan adalah Rumah, saya langsung teringat jalanan-jalanan pejalan kaki yang bersih, udara panas musim panas bulan Juli, rumah-rumah Jepang dibelakang jalan raya, stasiun yang sibuk, taman yang besar, toko-toko di pinggir jalan.
Serius, saya rindu.
Mungkin kalian pikir sangat aneh, karena saya sendiri juga berpikir begitu.
Saya baru sekali pergi ke Kyoto, itupun hanya sekitar tiga hari.
Harusnya belum ada benang yang kuat antara saya dan Kyoto, harusnya malah tidak ada sama sekali. Karena saya hanya datang kesana sebagai turis transit, saya mau ke Tokushima, ingat?
Saya tidak mengerti sebenarnya ada perasaan apa sama Kyoto, berkali-kali saya ungkapkan saya ingin kembali kesana, yang entah bagaimana caranya. Hal yang paling membahagiakan mungkin adalah dengan bersekolah disana. Ya, akan saya pertimbangkan dia ke dalam daftar cita-cita mungkin.
Saya ingin tinggal lebih lama disana.
Saya ingin menelisik budayanya lebih dalam lagi.
Saya ingin kenal penduduk-penduduknya.
Saya ingin keliling Kinkakuji seharian.
Saya ingin berada dibawah torii-torii Fushimi Inari.
Bahkan saya ingin mengobrol dengan penjual sepatunya.
Ketika Kebahagiaan adalah Rumah, dimanakah Anda akan tinggal?
Rumah, dalam bahasa Inggris bisa dua. Home dan house. Ketika kita berbicara tentang house maka adalah gedung, tempat kita merasa feels like home.
House adalah tempat kita tinggal.
Sedangkan home adalah tempat tinggal kita.
Tipis, tapi setidaknya itu yang saya rasakan.
Tapi.
Saya punya perasaan yang sangat aneh.
Saya sendiri tidak bisa menggambarkan.
Saya baru membaca The Geography of Bliss karya Eric Weiner. Sebuah buku tentang pencariaan kebahagiaan secara geografis. Tuan Weiner mencari tempat-tempat yang paling membahagiakan di dunia. Saya, tidak bisa dipungkiri, iri, iri sekali, sama Tuan Weiner ini. Well, dia menikmati udara Islandia, India, Bhutan, Thailand, Qatar, bahkan - yang saya belum pernah dengar namanya - Maldova, dia belajar budaya, dan dia mencari kebahagiaan. Walaupun tidak semuanya membuat dia bahagia. Chapter terakhir dia adalah Amerika - Ketika Kebahagiaan adalah Rumah. Tuan Weiner ini sangat Amerika, anyway. Menggambarkan dimana orang-orang Amerika akan bahagia ketika mereka telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai "Rumah" entah itu Miami, Michigan, Asheville di Carolina Utara - banyak teman-teman dari Tuan Weiner yang pindah kesana, merasa akan mendapat bahagia, walaupun tidak sepenuhnya merasa tempat itu akan menjadi "rumah"nya.
Kembali ke perasaan saya yang sangat aneh.
Saya ingin kembali ke Jepang.
Saya ingin kembali ke Kyoto.
Ketika saya membaca Ketika Kebahagiaan adalah Rumah, saya langsung teringat jalanan-jalanan pejalan kaki yang bersih, udara panas musim panas bulan Juli, rumah-rumah Jepang dibelakang jalan raya, stasiun yang sibuk, taman yang besar, toko-toko di pinggir jalan.
Serius, saya rindu.
Mungkin kalian pikir sangat aneh, karena saya sendiri juga berpikir begitu.
Saya baru sekali pergi ke Kyoto, itupun hanya sekitar tiga hari.
Harusnya belum ada benang yang kuat antara saya dan Kyoto, harusnya malah tidak ada sama sekali. Karena saya hanya datang kesana sebagai turis transit, saya mau ke Tokushima, ingat?
Saya tidak mengerti sebenarnya ada perasaan apa sama Kyoto, berkali-kali saya ungkapkan saya ingin kembali kesana, yang entah bagaimana caranya. Hal yang paling membahagiakan mungkin adalah dengan bersekolah disana. Ya, akan saya pertimbangkan dia ke dalam daftar cita-cita mungkin.
Saya ingin tinggal lebih lama disana.
Saya ingin menelisik budayanya lebih dalam lagi.
Saya ingin kenal penduduk-penduduknya.
Saya ingin keliling Kinkakuji seharian.
Saya ingin berada dibawah torii-torii Fushimi Inari.
Bahkan saya ingin mengobrol dengan penjual sepatunya.
Sedikit tentang Kyoto |
Ketika Kebahagiaan adalah Rumah, dimanakah Anda akan tinggal?
24 Nov 2012
Akhir-akhir Ini Selalu Hujan di Yogyakarta.
Ini pagi yang seperti kemarin-kemarin.
Langit seperti kemarin-kemarin.
Awan seperti kemarin-kemarin.
Suram seperti kemarin-kemarin.
Sebentar lagi rintik hujan aku yakin akan datang sedikit-sedikit.
Seperti kemarin-kemarin.
Maka aku bersiap-siap.
Payung, payung garis-garis abu-abu satu-satunya milik aku.
Langit seperti kemarin-kemarin.
Awan seperti kemarin-kemarin.
Suram seperti kemarin-kemarin.
Sebentar lagi rintik hujan aku yakin akan datang sedikit-sedikit.
Seperti kemarin-kemarin.
Maka aku bersiap-siap.
Payung, payung garis-garis abu-abu satu-satunya milik aku.
9 Nov 2012
Fiksi Pertama di Bulan November
Monte Cassino Aster - google.com |
Toko Buku "Monte Cassino"
Pukul 12.00
Terlihat dua orang, lelaki dan perempuan duduk
dibelakang meja kasir – pemilik toko sepertinya. Keduanya mengenakan apron biru
tua bertuliskan "Monte Cassino" dengan sedikit aplikasi gambar
bunga-bunga putih – sesuai dengan namanya.
Yang lelaki sedang sibuk membaca sebuah
buku, The Catcher in the Rye, terpampang judul dengan huruf kuning
dengan sampul buku berwarna merah manyala, yang perempuan juga sibuk,
memperhatikan yang lelaki, sambil tertawa pelan-pelan, lucu memandangi lelaki
itu tampak serius.
Si perempuan yang benar-benar tidak dapat
tertawa pelan-pelan lagi, akhirnya tertawa terbahak-bahak sambil memegangi
lengan baju si lelaki. Si lelaki mendelik, kemudian menggerutu tidak jelas –
sambil membetulkan lengan bajunya yang merosot – yang malah membuat si
perempuan tertawa sangat geli.
Tapi, lelaki ini memang harusnya selalu
tampak serius, walaupun mukanya tampak jenaka. Dia seorang agen rahasia. Charles
namanya, Agen Charles adalah nama dalam kartu pengenalnya. Yang perempuan ini
istrinya, namanya Nadine.
"Ting, ting," itu tanda ada yang datang, pintu masuk
toko buku Monte Cassino ini dipasangi lonceng di atasnya. Baik Charles maupun Nadine,
keduanya refleks memandang pintu, berdebar. Hari ini, rencananya seseorang yang
sudah Charles tunggu selama tiga setengah tahun akan datang, seorang bandar
obat-obatan terlarang yang jaringannya sudah meluas sampai ke separuh bola
dunia. Agen Charles sudah memanipulasi data diri sendiri, menyamarkan segala
sesuatunya – kecuali istrinya, Agen Charles berjanji pada dirinya sendiri agar
hanya dia yang akan melindungi istrinya – untuk memancing sang pimpinan bandar
narkotika untuk bisa ditemui.
Sebuah sosok sepatu pantofel hitam adalah yang
pertama kali terlihat di ujung pintu. Kemudia sebuah lengan berbalut jas hitam
dengan jam tangan berwarna keperakan di handle
pintu. Kemudian tampak sebuah kepala yang sangat dikenali, baik oleh
Charles maupun oleh Nadine.
Rupanya Agen Julian.
Charles hampir saja melempar Julian dengan pot
kaktus – pot kaktus kesayangan Nadine, karena membuatnya benar-benar
berdebar-debar. Lagi-lagi, Nadine tertawa geli melihat ekspresi Charles.
Sangat, sangat lucu.
Julian – atau Agen Julian dalam kartu
pengenalnya – dari segi wajah dan sifat merupakan sangat kebalikan dari
Charles. Wajahnya serius dan misterius. Tidak banyak bicara dan elegan, selalu
berhati-hati dalam pengintaian. Selalu siap meng-cover Agen Charles ketika penyamaran mereka sebagai tukang ledeng
Pusat Maritim Negara hampir terbongkar. Sepertinya kali ini Julian agak was-was
dan cemas juga, mengingat lawan kali ini bukanlah sekedar menteri korupsi atau
penyelundup terumbu karang langka, melainkan seorang bos obat-obatan terlarang
dengan jaringan setengah dunia.
“Bagaimana?” sepatah pertanyaan dari Julian,
sepotong kata yang menuntut banyak jawaban.
“Oke,” hanya itu jawaban dari Charles, sambil
masih membaca The Catcher in the Rye.
Nadine menggembungkan pipinya, menahan tawa, dia yakin Julian akan kesal sekali
dengan jawaban yang seadanya. Hidup Nadine yang seharusnya penuh debaran karena hidup dengan seorang agen yang
harusnya penuh rahasia yang mesti dirahasiakan, seakan menjadi penuh lelucon
karena sifat dan ekspresi Charles yang polos. Julian mendelik ke arah Nadine,
yang seakan mengerti, lalu permisi ke belakang, untuk menyiapkan teh dan kue.
“Bagaimana?” tanya Julian, lagi. Kali ini dengan
penuh penekanan, tatapan yang mengintimidasi, dan suara yang lebih direndahkan.
Charles menghela napas, merasa bacaannya
terganggu. “Semua oke, agen Julian, bos narkotika sudah akan datang, mungkin
sore atau…….. masuklah ke belakang, agen Julian, tolong jaga Nadine,” tiba-tiba
Charles mendengar suara halus mobil terparkir di depan tokonya.
Dapur
di rumah Agen Charles, tepat dibalik pintu belakang Toko Buku “Monte Cassino”
Pukul
13.45
“Begitu,” singkat agen Julian.
“Silakan diminum dulu, agen Julian,” ujar Nadine,
setenang mungkin, namun menuangkan teh dari teko porselen dengan tangan
gemetar.
Agen Julian baru saja menceritakan bagaimana
agen Charles bisa memancing sang bos narkotika, mengapa harus di toko buku
miliknya sendiri – agar tidak mencurigakan, dan seberapa berbahayanya bos Don
Leo ini dalam dunia perdagangan obat. Cerita agen Julian yang tegas dan tidak
bertele-tele tentu membuat hati seorang perempuan – yang suaminya ternyata
menghadapi bahaya yang sangat-sangat mengkhawatirkan, tidak seperti yang digambarkan suaminya sebelumnya dengan
muka jenaka – menjadi kalut dan takut.
Charles mengajukan diri menjadi umpan, karena
ekspresinya yang sulit ditebak dan jarang terekspos publik, sekaligus
membalaskan dendam pribadinya akan fitnah hukuman penjara seumur hidup terhadap
Ayahnya – yang merupakan komandan tim investigasi – kepada Don Leo.. Julian sempat
merelakan diri menjadi umpan, namun Charles menyanggah, Julian sudah terlalu terkenal
di kancah agen-agen rahasia dan penjahat-penjahat, mafia-mafia, dan pedagang
gelap-pedagang gelap. Julian terkenal membahayakan.
“Biar, aku tuang sendiri,” tangan Julian menepis
tangan Nadine, menggenggam teko, tanpa gemetar seperti Nadine tadi. “Tenang
saja,” katanya sambil menghirup teh, “Charles bukan orang yang lemah, sama
sekali bukan.”
Nadine diam saja, menggoyang-goyangkan sendok ke
dalam mangkuk gula, memandangi jam dinding, dengan pandangan kosong. Julian
jadi memandangi Nadine, pelan-pelan menepuk kepalanya. Terakhir kali Julian
menepuk kepala Nadine, tujuh tahun yang lalu…
“BRAK!” suara keras dari depan. Julian maupun
Nadine terperanjat, sebelum sempat dicegah, Nadine berlari menuju pintu, ke
dalam toko.
“Nadine!” seru Julian, ingin berlari menarik
Nadine untuk mundur, tidak ikut campur, tetapi tidak mungkin Julian menampakan
diri selagi masih ada kelompok Don Leo disana.
Pukul 14.45
“Jangan nangis, jangan nangis Nadine,” Charles panik menenangkan Nadine, yang duduk
sesenggukan di lantai toko buku. “Julian! JULIAN!” teriak Charles.
Pintu belakang terbuka sedikit. Tampak mata
tajam Julian dibalik pintu. Setelah memastikan segalanya aman – toko kosong,
rak buku dekat jendela jatuh – Julian keluar menghampiri Charles.
“Aku bilang jaga Nadine!” seru Charles.
“Tapi… dimana…?” Julian kebingungan.
“Aku bilang, jaga Nadine,” kali ini Charles
menggeram.
Julian terdiam. Tidak ada gunanya mendebat
segala macam hal pada Charles. Apabila saat ini Charles dibantah, hal itu hanya
akan membuatnya tambah meledak-ledak. Julian menghela napas panjang.
“Maaf,” katanya datar.
“Maaf,” dengus Charles, sambil menuntun Nadine
berdiri.
Sekali lagi Julian menghela napas panjang. “Jadi?”
“Ya, tadi komplotan Don Leo datang,” kata
Charles sambil mengelus kepala Nadine, “…tanpa Don Leo,” lanjutnya. “Mereka
hanya bilang, ‘Besok, pukul tiga siang’ – aduh!” tangan Charles tidak sengaja ‘mengelus’
kaktus. Julian berdeham.
“Besok Don Leo datang?” tanya Julian.
Charles terdiam sesaat. Ragu, kelihatannya.
“Aku bilang, tidak akan memberikan uangnya kalau
Don Leo tidak datang,” kata Charles akhirnya sambil mengangkat bahu.
“Lalu?”
“…sepertinya di balik jas mereka, ada pistol…”
Charles berhenti sebentar, “Dan yang paling besar tadi, hampir menghajarku,
mungkin menganggapku lancang karena ingin bertemu Don Leo,” lanjut Charles
lambat-lambat berkata, sambil melirik Nadine, takut Nadine ketakutan.
Julian tidak peduli. “Lalu?”
“Untungnya, aku bisa menahannya…” kata Julian, “…
dan untungnya, lagi… sepertinya Don Leo cukup mempercayai aku, aku minta
dihubungi ke Don Leo, dan oke, setelah cukup bercakap, dia akan datang besok.”
“Lantas, suara tadi…”
“Ah.”
“Ah, apa?” tanya Julian.
“Maaf, tadi aku yang tidak sengaja menendang rak
buku…”
Julian membatu.
“Jadi,” Julian tidak sanggup berkata-kata. “Kamu,
Agen Charles yang hebat, memarahiku karena AKU TIDAK MELINDUNGI NADINE dari
TENDANGAN TIDAK SENGAJA pada display rak buku?”
"Bagaimana kalau tadi masih ada komplotan Don Leo, HAH!"
Sepertinya akan terjadi sebuah perdebatan panjang yang tidak penting – yang sudah biasa disimak Nadine – antara Charles dan Julian. Mereka memang begitu, sejak bertahun-tahun yang silam.
Nadine berhenti terisak, ujung bibirnya terdapat
senyuman simpul, namun tetap tidak berhenti berbisik, “Syukurlah… syukurlah…
Hati-hati, Charles… Hati-hati…”
***
ini bersambung dulu mungkin.
atau selesai saja sampai disana?
Langganan:
Postingan (Atom)