25 Nov 2012

Rumah.

Kalian pasti berpikir kalau "Rumah" adalah berarti pulang. Kalau kalian kenal saya, kalian pasti langsung berpikir tentang sebuah daerah super panas di ujung barat pulau Jawa sana, di dekat pantai-pantai, kawasan-kawasan industri, transit para penyebrang pulau, dan pabrik baja.

Rumah, dalam bahasa Inggris bisa dua. Home dan house. Ketika kita berbicara tentang house maka adalah gedung, tempat kita merasa feels like home.
House adalah tempat kita tinggal.
Sedangkan home adalah tempat tinggal kita.
Tipis, tapi setidaknya itu yang saya rasakan.

Tapi.
Saya punya perasaan yang sangat aneh.
Saya sendiri tidak bisa menggambarkan.
Saya baru membaca The Geography of Bliss karya Eric Weiner. Sebuah buku tentang pencariaan kebahagiaan secara geografis. Tuan Weiner mencari tempat-tempat yang paling membahagiakan di dunia. Saya, tidak bisa dipungkiri, iri, iri sekali, sama Tuan Weiner ini. Well, dia menikmati udara Islandia, India, Bhutan, Thailand, Qatar, bahkan - yang saya belum pernah dengar namanya - Maldova, dia belajar budaya, dan dia mencari kebahagiaan. Walaupun tidak semuanya membuat dia bahagia. Chapter terakhir dia adalah Amerika - Ketika Kebahagiaan adalah Rumah. Tuan Weiner ini sangat Amerika, anyway. Menggambarkan dimana orang-orang Amerika akan bahagia ketika mereka telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai "Rumah" entah itu Miami, Michigan, Asheville di Carolina Utara - banyak teman-teman dari Tuan Weiner yang pindah kesana, merasa akan mendapat bahagia, walaupun tidak sepenuhnya merasa tempat itu akan menjadi "rumah"nya.

Kembali ke perasaan saya yang sangat aneh.
Saya ingin kembali ke Jepang.
Saya ingin kembali ke Kyoto.
Ketika saya membaca Ketika Kebahagiaan adalah Rumah, saya langsung teringat jalanan-jalanan pejalan kaki yang bersih, udara panas musim panas bulan Juli, rumah-rumah Jepang dibelakang jalan raya, stasiun yang sibuk, taman yang besar, toko-toko di pinggir jalan.
Serius, saya rindu.
Mungkin kalian pikir sangat aneh, karena saya sendiri juga berpikir begitu.
Saya baru sekali pergi ke Kyoto, itupun hanya sekitar tiga hari.
Harusnya belum ada benang yang kuat antara saya dan Kyoto, harusnya malah tidak ada sama sekali. Karena saya hanya datang kesana sebagai turis transit, saya mau ke Tokushima, ingat?
Saya tidak mengerti sebenarnya ada perasaan apa sama Kyoto, berkali-kali saya ungkapkan saya ingin kembali kesana, yang entah bagaimana caranya. Hal yang paling membahagiakan mungkin adalah dengan bersekolah disana. Ya, akan saya pertimbangkan dia ke dalam daftar cita-cita mungkin.
Saya ingin tinggal lebih lama disana.
Saya ingin menelisik budayanya lebih dalam lagi.
Saya ingin kenal penduduk-penduduknya.
Saya ingin keliling Kinkakuji seharian.
Saya ingin berada dibawah torii-torii Fushimi Inari.
Bahkan saya ingin mengobrol dengan penjual sepatunya.

Sedikit tentang Kyoto


Ketika Kebahagiaan adalah Rumah, dimanakah Anda akan tinggal?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar