28 Nov 2012

Menghayal, lagi-lagi.

Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Gedungnya terbuat dari kayu.
Kaca jendelanya menghadap pepohonan.

Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Ditemani secangkir kopi, yang tidak terlalu pahit.
Suara gerimis bersahutan diatas atap.

Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Sendirian bergelung dibalik selimut.
Sambil mendengarkan musik berirama senja.

Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Biarlah lantainya berserakan kertas sketsa.
Dan remahan penghapus.

Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Yang di sudut ruangannya ada koper-koper cokelat.
Yang terbuka bekas aku pergi, yang tertutup menunggu untuk pergi bersamaku.

Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Ada meja bundar di depan sofa, diatasnya ada setangkai bunga.
Warnanya oranye.

Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Tempat aku menikmati dengusan seekor german shepherd.
Sembari memandangi paspor dengan ratusan stempel imigrasi berbagi negara.

Kadang, terbayang di benakku sebuah tempat yang damai.
Dan mendengar ketukan dari luar.
Mungkin ada kamu, dibawah gerimis.
Yang ketika kubukakan pintu,
kamu akan berkata,
"Ayo kita berangkat ke Praha."

*

Saya ingin berpetualang ke dan di luar negeri.

25 Nov 2012

Rumah.

Kalian pasti berpikir kalau "Rumah" adalah berarti pulang. Kalau kalian kenal saya, kalian pasti langsung berpikir tentang sebuah daerah super panas di ujung barat pulau Jawa sana, di dekat pantai-pantai, kawasan-kawasan industri, transit para penyebrang pulau, dan pabrik baja.

Rumah, dalam bahasa Inggris bisa dua. Home dan house. Ketika kita berbicara tentang house maka adalah gedung, tempat kita merasa feels like home.
House adalah tempat kita tinggal.
Sedangkan home adalah tempat tinggal kita.
Tipis, tapi setidaknya itu yang saya rasakan.

Tapi.
Saya punya perasaan yang sangat aneh.
Saya sendiri tidak bisa menggambarkan.
Saya baru membaca The Geography of Bliss karya Eric Weiner. Sebuah buku tentang pencariaan kebahagiaan secara geografis. Tuan Weiner mencari tempat-tempat yang paling membahagiakan di dunia. Saya, tidak bisa dipungkiri, iri, iri sekali, sama Tuan Weiner ini. Well, dia menikmati udara Islandia, India, Bhutan, Thailand, Qatar, bahkan - yang saya belum pernah dengar namanya - Maldova, dia belajar budaya, dan dia mencari kebahagiaan. Walaupun tidak semuanya membuat dia bahagia. Chapter terakhir dia adalah Amerika - Ketika Kebahagiaan adalah Rumah. Tuan Weiner ini sangat Amerika, anyway. Menggambarkan dimana orang-orang Amerika akan bahagia ketika mereka telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai "Rumah" entah itu Miami, Michigan, Asheville di Carolina Utara - banyak teman-teman dari Tuan Weiner yang pindah kesana, merasa akan mendapat bahagia, walaupun tidak sepenuhnya merasa tempat itu akan menjadi "rumah"nya.

Kembali ke perasaan saya yang sangat aneh.
Saya ingin kembali ke Jepang.
Saya ingin kembali ke Kyoto.
Ketika saya membaca Ketika Kebahagiaan adalah Rumah, saya langsung teringat jalanan-jalanan pejalan kaki yang bersih, udara panas musim panas bulan Juli, rumah-rumah Jepang dibelakang jalan raya, stasiun yang sibuk, taman yang besar, toko-toko di pinggir jalan.
Serius, saya rindu.
Mungkin kalian pikir sangat aneh, karena saya sendiri juga berpikir begitu.
Saya baru sekali pergi ke Kyoto, itupun hanya sekitar tiga hari.
Harusnya belum ada benang yang kuat antara saya dan Kyoto, harusnya malah tidak ada sama sekali. Karena saya hanya datang kesana sebagai turis transit, saya mau ke Tokushima, ingat?
Saya tidak mengerti sebenarnya ada perasaan apa sama Kyoto, berkali-kali saya ungkapkan saya ingin kembali kesana, yang entah bagaimana caranya. Hal yang paling membahagiakan mungkin adalah dengan bersekolah disana. Ya, akan saya pertimbangkan dia ke dalam daftar cita-cita mungkin.
Saya ingin tinggal lebih lama disana.
Saya ingin menelisik budayanya lebih dalam lagi.
Saya ingin kenal penduduk-penduduknya.
Saya ingin keliling Kinkakuji seharian.
Saya ingin berada dibawah torii-torii Fushimi Inari.
Bahkan saya ingin mengobrol dengan penjual sepatunya.

Sedikit tentang Kyoto


Ketika Kebahagiaan adalah Rumah, dimanakah Anda akan tinggal?

24 Nov 2012

Akhir-akhir Ini Selalu Hujan di Yogyakarta.

Ini pagi yang seperti kemarin-kemarin.

Langit seperti kemarin-kemarin.

Awan seperti kemarin-kemarin.

Suram seperti kemarin-kemarin.

Sebentar lagi rintik hujan aku yakin akan datang sedikit-sedikit.

Seperti kemarin-kemarin.

Maka aku bersiap-siap.

Payung, payung garis-garis abu-abu satu-satunya milik aku.


9 Nov 2012

Fiksi Pertama di Bulan November



Monte Cassino Aster - google.com


Toko Buku "Monte Cassino"
Pukul 12.00


Terlihat dua orang, lelaki dan perempuan duduk dibelakang meja kasir – pemilik toko sepertinya. Keduanya mengenakan apron biru tua bertuliskan "Monte Cassino" dengan sedikit aplikasi gambar bunga-bunga putih – sesuai dengan namanya.
Yang lelaki sedang sibuk membaca sebuah buku, The Catcher in the Rye, terpampang judul dengan huruf kuning dengan sampul buku berwarna merah manyala, yang perempuan juga sibuk, memperhatikan yang lelaki, sambil tertawa pelan-pelan, lucu memandangi lelaki itu tampak serius.
Si perempuan yang benar-benar tidak dapat tertawa pelan-pelan lagi, akhirnya tertawa terbahak-bahak sambil memegangi lengan baju si lelaki. Si lelaki mendelik, kemudian menggerutu tidak jelas – sambil membetulkan lengan bajunya yang merosot – yang malah membuat si perempuan tertawa sangat geli.
Tapi, lelaki ini memang harusnya selalu tampak serius, walaupun mukanya tampak jenaka. Dia seorang agen rahasia. Charles namanya, Agen Charles adalah nama dalam kartu pengenalnya. Yang perempuan ini istrinya, namanya Nadine.
"Ting, ting," itu tanda ada yang datang, pintu masuk toko buku Monte Cassino ini dipasangi lonceng di atasnya. Baik Charles maupun Nadine, keduanya refleks memandang pintu, berdebar. Hari ini, rencananya seseorang yang sudah Charles tunggu selama tiga setengah tahun akan datang, seorang bandar obat-obatan terlarang yang jaringannya sudah meluas sampai ke separuh bola dunia. Agen Charles sudah memanipulasi data diri sendiri, menyamarkan segala sesuatunya – kecuali istrinya, Agen Charles berjanji pada dirinya sendiri agar hanya dia yang akan melindungi istrinya – untuk memancing sang pimpinan bandar narkotika untuk bisa ditemui.
Sebuah sosok sepatu pantofel hitam adalah yang pertama kali terlihat di ujung pintu. Kemudia sebuah lengan berbalut jas hitam dengan jam tangan berwarna keperakan di handle pintu. Kemudian tampak sebuah kepala yang sangat dikenali, baik oleh Charles maupun oleh Nadine.
Rupanya Agen Julian.
Charles hampir saja melempar Julian dengan pot kaktus – pot kaktus kesayangan Nadine, karena membuatnya benar-benar berdebar-debar. Lagi-lagi, Nadine tertawa geli melihat ekspresi Charles. Sangat, sangat lucu.
Julian – atau Agen Julian dalam kartu pengenalnya – dari segi wajah dan sifat merupakan sangat kebalikan dari Charles. Wajahnya serius dan misterius. Tidak banyak bicara dan elegan, selalu berhati-hati dalam pengintaian. Selalu siap meng-cover Agen Charles ketika penyamaran mereka sebagai tukang ledeng Pusat Maritim Negara hampir terbongkar. Sepertinya kali ini Julian agak was-was dan cemas juga, mengingat lawan kali ini bukanlah sekedar menteri korupsi atau penyelundup terumbu karang langka, melainkan seorang bos obat-obatan terlarang dengan jaringan setengah dunia.
“Bagaimana?” sepatah pertanyaan dari Julian, sepotong kata yang menuntut banyak jawaban.
“Oke,” hanya itu jawaban dari Charles, sambil masih membaca The Catcher in the Rye. Nadine menggembungkan pipinya, menahan tawa, dia yakin Julian akan kesal sekali dengan jawaban yang seadanya. Hidup Nadine yang seharusnya penuh debaran karena hidup dengan seorang agen yang harusnya penuh rahasia yang mesti dirahasiakan, seakan menjadi penuh lelucon karena sifat dan ekspresi Charles yang polos. Julian mendelik ke arah Nadine, yang seakan mengerti, lalu permisi ke belakang, untuk menyiapkan teh dan kue.
“Bagaimana?” tanya Julian, lagi. Kali ini dengan penuh penekanan, tatapan yang mengintimidasi, dan suara yang lebih direndahkan.
Charles menghela napas, merasa bacaannya terganggu. “Semua oke, agen Julian, bos narkotika sudah akan datang, mungkin sore atau…….. masuklah ke belakang, agen Julian, tolong jaga Nadine,” tiba-tiba Charles mendengar suara halus mobil terparkir di depan tokonya.


Dapur di rumah Agen Charles, tepat dibalik pintu belakang Toko Buku “Monte Cassino”
Pukul 13.45

“Begitu,” singkat agen Julian.
“Silakan diminum dulu, agen Julian,” ujar Nadine, setenang mungkin, namun menuangkan teh dari teko porselen dengan tangan gemetar.
Agen Julian baru saja menceritakan bagaimana agen Charles bisa memancing sang bos narkotika, mengapa harus di toko buku miliknya sendiri – agar tidak mencurigakan, dan seberapa berbahayanya bos Don Leo ini dalam dunia perdagangan obat. Cerita agen Julian yang tegas dan tidak bertele-tele tentu membuat hati seorang perempuan – yang suaminya ternyata menghadapi bahaya yang sangat-sangat mengkhawatirkan, tidak seperti  yang digambarkan suaminya sebelumnya dengan muka jenaka – menjadi kalut dan takut.
Charles mengajukan diri menjadi umpan, karena ekspresinya yang sulit ditebak dan jarang terekspos publik, sekaligus membalaskan dendam pribadinya akan fitnah hukuman penjara seumur hidup terhadap Ayahnya – yang merupakan komandan tim investigasi – kepada Don Leo.. Julian sempat merelakan diri menjadi umpan, namun Charles menyanggah, Julian sudah terlalu terkenal di kancah agen-agen rahasia dan penjahat-penjahat, mafia-mafia, dan pedagang gelap-pedagang gelap. Julian terkenal membahayakan.
“Biar, aku tuang sendiri,” tangan Julian menepis tangan Nadine, menggenggam teko, tanpa gemetar seperti Nadine tadi. “Tenang saja,” katanya sambil menghirup teh, “Charles bukan orang yang lemah, sama sekali bukan.”
Nadine diam saja, menggoyang-goyangkan sendok ke dalam mangkuk gula, memandangi jam dinding, dengan pandangan kosong. Julian jadi memandangi Nadine, pelan-pelan menepuk kepalanya. Terakhir kali Julian menepuk kepala Nadine, tujuh tahun yang lalu…
“BRAK!” suara keras dari depan. Julian maupun Nadine terperanjat, sebelum sempat dicegah, Nadine berlari menuju pintu, ke dalam toko.
“Nadine!” seru Julian, ingin berlari menarik Nadine untuk mundur, tidak ikut campur, tetapi tidak mungkin Julian menampakan diri selagi masih ada kelompok Don Leo disana.


 Toko Buku "Monte Cassino"
Pukul 14.45

“Jangan nangis, jangan nangis Nadine,”  Charles panik menenangkan Nadine, yang duduk sesenggukan di lantai toko buku. “Julian! JULIAN!” teriak Charles.
Pintu belakang terbuka sedikit. Tampak mata tajam Julian dibalik pintu. Setelah memastikan segalanya aman – toko kosong, rak buku dekat jendela jatuh – Julian keluar menghampiri Charles.
“Aku bilang jaga Nadine!” seru Charles.
“Tapi… dimana…?” Julian kebingungan.
“Aku bilang, jaga Nadine,” kali ini Charles menggeram.
Julian terdiam. Tidak ada gunanya mendebat segala macam hal pada Charles. Apabila saat ini Charles dibantah, hal itu hanya akan membuatnya tambah meledak-ledak. Julian menghela napas panjang.
“Maaf,” katanya datar.
“Maaf,” dengus Charles, sambil menuntun Nadine berdiri.
Sekali lagi Julian menghela napas panjang. “Jadi?”
“Ya, tadi komplotan Don Leo datang,” kata Charles sambil mengelus kepala Nadine, “…tanpa Don Leo,” lanjutnya. “Mereka hanya bilang, ‘Besok, pukul tiga siang’ – aduh!” tangan Charles tidak sengaja ‘mengelus’ kaktus. Julian berdeham.
“Besok Don Leo datang?” tanya Julian.
Charles terdiam sesaat. Ragu, kelihatannya.
“Aku bilang, tidak akan memberikan uangnya kalau Don Leo tidak datang,” kata Charles akhirnya sambil mengangkat bahu.
“Lalu?”
“…sepertinya di balik jas mereka, ada pistol…” Charles berhenti sebentar, “Dan yang paling besar tadi, hampir menghajarku, mungkin menganggapku lancang karena ingin bertemu Don Leo,” lanjut Charles lambat-lambat berkata, sambil melirik Nadine, takut Nadine ketakutan.
Julian tidak peduli. “Lalu?”
“Untungnya, aku bisa menahannya…” kata Julian, “… dan untungnya, lagi… sepertinya Don Leo cukup mempercayai aku, aku minta dihubungi ke Don Leo, dan oke, setelah cukup bercakap, dia akan datang besok.”
“Lantas, suara tadi…”
“Ah.”
“Ah, apa?” tanya Julian.
“Maaf, tadi aku yang tidak sengaja menendang rak buku…”
Julian membatu.
“Jadi,” Julian tidak sanggup berkata-kata. “Kamu, Agen Charles yang hebat, memarahiku karena AKU TIDAK MELINDUNGI NADINE dari TENDANGAN TIDAK SENGAJA pada display rak buku?”
"Bagaimana kalau tadi masih ada komplotan Don Leo, HAH!"
Sepertinya akan terjadi sebuah perdebatan panjang yang tidak penting – yang sudah biasa disimak Nadine – antara Charles dan Julian. Mereka memang begitu, sejak bertahun-tahun yang silam.
Nadine berhenti terisak, ujung bibirnya terdapat senyuman simpul, namun tetap tidak berhenti berbisik, “Syukurlah… syukurlah… Hati-hati, Charles… Hati-hati…”


***

ini bersambung dulu mungkin.
atau selesai saja sampai disana?

27 Okt 2012

Bersama @fehasanah, yang secara tidak langsung menyetujui kata-kata @prsetyoaditya, "Lebaran gak pulang ya?"

Kemarin, tepatnya pada hari Sabtu tanggal 26 Oktober 2012, dimana adalah hari Idul Adha, saya dan teman saya, teman baik saya dari SMA, teman baik saya sampe kuliah, temennya calon adek ipar saya, melakukan suatu petualangan yang tidak hanya absurd, tapi juga menegangkan dan dingin, karena dilakukan pada kurun waktu 08.30 pm - 09.30 pm.
Jogja kalo malem dingin. Perasaan dinginnya bisa diibaratkan sebagai unta yang tersesat di Antartika. Tapi gak sebegitu dingin kok, karena ada sesuatu di hati yang menghangatkan.
Semuanya dimulai dengan Fera udah berani bawa motor yah, kalah dong saya, secara naik sepeda aja saya belum bisa. Kemudian, ini ada hubungannya dengan ritual saya setiap sore, yang dinamakan investigasi dunia maya, atau biasanya sih orang-orang bilang, kepo.
Jadi, karena dalam rangka Idul Adha, Fera ada di kosan demi shalat ied di Masjid Kampus, parah lo Fer, bukannya shalat sama abang. But, that's not such a big problem, karena pada malamnya, kita dapat bersilaturahmi demi mempererat baik hubungan persaudaraan maupun hubungan persahabatan dengan saudara kandung abang. Haha. Jayus Ta.
Nah, Fera ini adalah orang yang lumayan berpengaruh pada kelancaran masa depan saya, tiba-tiba seperti mendapat pertanda dari Yang Maha Mengetahui berupa sebuah pesan dari jejaring sosial. Pada saat itu, saya lagi mandi, si Fera manggil saya lho. Serius. Saya denger dari kamar mandi.
Kemudian, kami melakukan investigasi tahap lanjut kemudian dengan sangat bersemangat, kami menyusun rencana untuk melakukan silaturahmi ke arah kosan Abang Fery.
Tunggu, dimana petualangannya?
Jadi, petualangannya adalah dimana Fera adalah amatir dalam pembawaan motor dan pembacaan peta. Fera aja berani-beraninya saya sebut amatir, emangnya saya siapa? Saya adalah korban dari hasil kepo saya sendiri.
Jadi, kami mencari sebuah daerah dimana jalannya KAMI SAMA SEKALI TIDAK TAHU DIMANA. Bodoh? Memang.
Ancer-ancer kami cuma
"Perempatan pertama, kita lurus aja, nanti perempatan kedua kita lewat, ada belokan kecil disebelah kiri, kita masuk, tinggal set, set, belok kanan, belok kiri sekali, nyampe deh"
Masalahnya: Jalanan Yogyakarta tidak sekadar dua perempatan dan belokan kanan dan kiri.
Pertama, kami tiba di sebuah daerah yang "kalo tempat Abang, belok sana tuh Ta, nah sekarang kita kemana ya?"
Well, dalam hati, jujur saya gak tau. Cuma pake perasaan aja, "Belok sana coba Fer, tadi di Bing map ke kiri kok," saya jawab semantap mungkin, biar yakin aja.
Terus Fera melakukan manuver putar balik di depan daerah Mi Surabaya (yang sempat saya yakini sebagai, "Fer! Ini dimana? Gue gak liat tadi di peta ada jalan Surabaya!") dan entah kenapa motor juga melakukan manuvernya sendiri. Motornya oleng ke sebelah kiri dong. Terus untungnya kita dengan sangat gesit melakukan pertahanan terhadap jatuhnya motor tersebut, memanfaatkan ekstremitas inferior kita bagian sinister (bilang aja kaki kiri), dan motornya untungnya sangat kooperatif, jadi gak jatuh. Hore!
Kemudian kita melakukan putar balik dan kita berkutat di area dengan nama-nama bunga. Dimana kita sama sekali gak ngerti kita harus kemana.
Dan Fera akhirnya dengan sangat yakin mengarahkan motornya ke area dengan nama jenis-jenis burung, yang tidak lain tidak bukan adalah daerah kosan Abangnya. Akhirnya setelah kita basa-basi dengan "Selamat lebaran Abang," dan wejangan Abang berupa, "Coba gue liat elo kalo belok gimana Fer," akhirnya kita memutuskan untuk melanjutkan petualangan.
Petualangan berlanjut dengan jalan buntu dan jalan turunan yang gelap, serta jalan dengan "Fer, lo ngerasa gak ini kaya rumah yang di Bukit Palm?" dan daerah dengan "Kira-kira disitu ada jalan gak?". Akhirnya kita menyerah kalah dengan keadaan. Dan pulangnya pun kita nyasar.
Dan terjadilah keadaan putar balik dengan motor hampir saja melakukan kontak langsung dengan bumi pertiwi dengan lanjutan kata-kata "Gue udah gak kuat lagi, Ta," terus kita berdua karena capek nyasar dan capek ketawa, akhirnya memutuskan untuk makan saja, di sebuah restoran Jepang cepat saji dan disini adalah TKP dimana kita melihat seorang lelaki multitalented yang makan menggunakan 2 pasang sumpit. Jago banget parah.
Akhirnya kita pulang dengan menyanyikan "The Way You Look at Me"-nya Christian Bautista di sepanjang perjalanan pulang.


Rencana kita selanjutnya adalah:
Karaoke
dimana kita udah bikin playlistnya dari sekarang, termasuk si The Way You Look at Me dan Why did I Fall in Love with you yang kata Fera video clipnya, "Proposal banget Ta!"
Ya, mungkin suatu saat nanti lo akan ngerti kenapa video clip nya kaya gitu ya, Fer.
Suatu saat nanti.


25 Okt 2012

Lagi-lagi tentang mimpi.

Saya sudah berusaha ingin mencurahkan segala-galanya.
Memang tidak secara gamblang, saya hanya berani dengan analogi.
Saya sudah berusaha ingin menuliskan segala-galanya.
Dengan tangan yang sudah dingin kesemua-semuanya ini.
Saya sudah berusaha ingin mengungkapkan segala-galanya.
Otak saya memang belum berhenti, tapi pikiran saya, ya. Dia berhenti.
Saya sudah berusaha ingin menggambarkan segala-galanya.
Bahkan saya tidak bisa menentukan dengan apa saya harus melakukannya.
Semuanya hanya sanggup diam.
Kemampuan Anda menjangkau batas putih imajinasi,
Mengintimidasi dan menghentikan saya disini.
Terimakasih.
Tapi,
Saya benar-benar tidak paham lagi.

14 Okt 2012

Curhat - bisa-bisanya nulis begini.

Saya, sudah hampir dua puluh tahun mengolah oksigen yang dipinjamkan Tuhan di dunia ini, dengan paru-paru yang juga dipinjamkan Tuhan.

Saya, sudah hampir tiga tahun, (seharusnya) tidak pernah putus bersyukur karena masih diberikan kesempatan menggunakan otak saya, yang lagi-lagi, dengan sangat baik hati Tuhan pinjamkan, untuk sekadar menimba ilmu mengenai gigi geligi.

Saya, sudah melewati tiga ratus enam puluh lima hari dikali tiga, plus satu hari karena kabisat, dengan makhluk-makhluk yang Dia pinjamkan untuk berbagi baik kebahagiaan maupun kesedihan.

Dan, telah pula mengenakan seragam putih-biru, biru, salah satu warna favorit saya, selama tidak lebih dari tiga tahun, untuk pertama kalinya menginjak kedewasaan.

Saya, yang masih kecil dulu, belum paham caranya berterimakasih karena enam tahun yang saya gunakan untuk berlari-lari di lapangan basket sebuah sekolah dasar, dengan cara apapun, membukakan pintu untuk saya ada di sini.

Dan sungguh, saya tidak mengerti lagi caranya berterimakasih kepada Tuhan, yang menyempurnakan kehidupan kecil saya melalui sebuah keluarga, dua orang adik yang luar biasa jenius, dan kedua orang tua yang luar bisa luar biasa. Hebat sekali, bukan?

Saya tidak bisa menemukan jalan lain selain bersyukur,
ketika hati berat,
dan rasanya ingin mengeluh.

Nikmat Tuhanmu mana lagi yang engkau dustakan? (QS55:16)

Fictional love letter - in a flowery way.

Uhm, a fiction about boy named Robin, missed her girl named Lavender, sending a letter.

*

Dear Lavender,


I only can see the lavender in my garden,
not in my eyes.

I only can feel the lavender by my hand,
not by my heart.

I only can water my lavender with the water,
not with my love.

I can sing to my lavender,
but they didn't hear.

Come, come to my garden.
I don't want lavender in my garden, I want Lavender in my garden.


Your 2000 miles away,
Robin.

12 Okt 2012

Binatang. Saya suka binatang, kecuali satu. Bukan, bukan binatang jalang.

Saya pernah memelihara seekor ikan.
Pernah.

Namanya Sou.

Spesifikasinya, dari Kingdom Animalia, Filum Chordata, Class Actinopterygii, Ordo Perciformes, Famili Osphronemidae, Genus Osphronemus, Species Betta sp.
Singkatnya sih, CUPANG.

Sou yang cantik dan menawan ini, saya adopsi tanpa akte lahir, tapi bukan ikan haram kok, dari Sunmor - yang adalah sebuah gebyar-gebyar setiap minggu pagi di kawasan UGM - seharga sangat murah. Gak saya umbar, nanti dikira riya'.

Sou ini selalu berenang-renang dengan riang. Ya karena dia adalah ikan. Akan sangat aneh kalau dia merayap di dinding.
Warnanya biru, seger banget, kaya cover meja belajar saya.
Makanannya ya makanan ikan, prediksi saya yang merah rasa daging, yang ijo rasa sayuran. Tapi saya kurang paham juga, belum pernah coba sih. Nah, Sou ini gak mau makan kalo si makanan ikan yang bulet-bulet kecil ini gak diancurin dulu. Baru tau ikan juga manja.

Sou ini sudah merepotkan banyak sekali penghuni kosan, Nelly, mbak Ika, Nanda, Wulan, karena semasa liburan, atau sedang pergi selama beberapa minggu itu, saya nitipin ikan saya ke mereka. *melalui tulisan ini saya mengucapkan terimakasih sangat banyak sekali kepada Anda sekalian yang sudah terlibat didalamnya.
Dan oleh Nanda, Sou ini diubah namanya menjadi Juna. Gak afdol Nan, kalo gak aqiqah, jadi namanya tetep Sou.

Dan setelah beberapa bulan, mmm, kurang lebih 4 bulanan, Sou mulai tampak lesu. Berenangnya gak semangat lagi. Istilahnya, berenang segan, mati tak mau. Sukanya diem-diem di pojokan aquarium mini yang saya beli bareng ikannya dan makanannya dan rumputnya yang dipetik oleh bapak penjual ikan entah di kali mana - rumputnya gratis anyway. Makanannya mulai tenggelem, karena gak dimakan. Warnanya jadi agak abu-abu. Saya tanya ke temen les bahasa Jepang saya, yang kuliah di FKH, katanya kalau kaya gitu di jedukin aja ke meja, terus digoreng. Tapi saya gak mengikuti saran dia. Terlalu anarkis.

Akhirnya saya cuma bisa berdoa. (bener-bener pasrah)

Dan akhirnya Sou, setelah diketok-ketok aquariumnya, cuma tiduran dilantai aquarium, resmi dipanggil oleh yang mahakuasa, untuk berenang di sungai-Nya di firdaus sana.

Sou

Sou - cupang kesayangan.

10 Okt 2012

Kali Lain.

Mungkin,
saat Oktober berakhir,
atau
saat November dimulai,
bahkan
di minggu pertama Januari tahun depan,
apa nanti
pada hujan terakhir di Desember tahun depannya lagi,
atau perlukah,
kutunggu sampai pulang?

7 Okt 2012

Buon Giorno, Domenica!

Ketika aku telah mengetik dua puluh dua huruf ini,

orang-orang lain disana,

mungkin telah,

menyudahi lari pagi,

menghabiskan sarapannya yang berupa telur mata sapi,

selesai mandi,

atau

menamatkan drama seri.

6 Okt 2012

Orang yang Bercengkerama Bersama Huruf dari Kertas-Kertas yang Hitam dan yang Putih

Sikunya tegas menyentuh meja, merasakan material kayu lewat ujung-ujung syaraf kulitnya.

Rambutnya hitam, pendek, menjuntai kebawah, searah gravitasi, karena kepalanya menunduk. Tentu saja.

Jika matanya adalah pisau, tentu akan robek semua semua kertas di meja, dengan dalam tajam memandang, apa apa yang sedang dia kerjakan.

Jemarinya, ya. Dengan gunting, dan kertas-kertas itu. Yang hitam dan yang putih. Lihai, halus, dan telaten.

Mulutnya sederhana saja, sunyi dalam diam. Yakin, otaknya yang lebih banyak berkata-kata.

Dia duduk saja. Dikursi yang dibuat dengan bahan yang sama dengan meja kokoh yang dibuat dari pohon entah dari hutan mana itu.

Lihai, jemarinya, mulai menggunting.

Huruf rupanya.

Dari kertas-kertas yang tadi, yang dipandangnya dengan tajam, yang berwarna hitam dan putih.

Dia membentuk huruf.

Banyak huruf. Banyak sekali huruf.

"Aku bermain huruf untuk merangkai kata," begitu ucapnya, ketika aku bertanya sedang apa.

3 Okt 2012

Kyoto-city!

I've been dreaming about going to Japan, at least once in my life.

*

And I didn't waste a chance when there was an open application for those who wants to visit Tokushima, it is Tokushima University to be exact. It was in the last August.
I did a really great time going on summer school  there, but, I was going to write about Kyoto here.

why Kyoto?

Well, I transited Kyoto before I heading to Tokushima. Even my friends who went with me doesn't really like Kyoto, because, well, in summer, Kyoto is super-hot like it has no cloud and no wind!
But for me, as the first city I went in Japan, which is my biggest dream, Kyoto is AWESOME!
I only went about 4 days and didn't take some sightseeing, but it was still interesting.
I stayed in Guest House, it's Kyoto Guest House, seven beds in one room, two bathrooms in use (maybe there are some in 3rd floor, as I stayed in 2nd floor, there was only 2 bathrooms for the people in 1st and 2nd floor), it was in the middle of city, so we could easily accessed the transportation such as buses, and even to walk.

I'm the true pedestrian.
And I find it was very convenient and pleasant to walking in the roadside. I really like walking and traveling around.

Me-Irma-Stella-Verisa in the roadside.
 
Fat me. In Kyoto night :) Blurred. Bad. *sigh*


We also went to the park, but didn't visit the aquarium. (I KNOW I KNOW, THERE ARE SOOOOOOOO MANY REGRETS LEFT IN MY HEART, MY BODY, AND MY SOUL THAT I DIDN'T VISIT MANY PLACES WHEN I WAS IN JAPAN) The guest house owner said it was the biggest park in Kyoto =D
I also visit the Kinkakuji, my friend got sick and almost all of them were collapsed due to very very very hot weather (41 degrees of Celcius was written in a building that time) such a beautiful temple >w<

Beautiful Kinkakuji under Kyoto's summer sky
Happy Bakabon Papa in the snack shop

Kyoto Tower - I don't know if we could going to the tower, we just bought the souvenirs in the lower  floor.

The big busy Kyoto Station

I did take a bite to the yummiest takoyaki in Kyoto! A recommendation from the nice Guest House owner :9 and it was though. A big pieces with big cut of tako, yum yum yum!

big-bites-of-tasty-tasty-takoyaki =9


The problem was: the translation. language. words. letters.
No, not Kyoto's problem, my problem.
I wasn't fluent in Japanese, so that was a VERY BIG problem. But, some Japanese people are also not fluent in English, no? Even though it is an international language *sigh*
My second problem is......... Money.
I'm still a student, and find the prices in Japan are high, feeling like my wallet have no soul again hahaha! Maybe when I finally an own income, I should go back there. Need to visit Fushimi Inari shrine!!!!! (it was closed when I was there)

As I told before, I also visited Tokushima (yeah, the main reason I went to Japan), I'd like to write some stories though, in another post maybe. About my summerschool, my homestay parents, the university, and a boys dance group called The Cell :p

*

I've been dreaming about going to Japan, at least once in my life.
But it's not enough.
Japan gives me more than I've expected.

Terlambat - Memori (Hampir) Setiap Pagi di Kamar Kosku.

Gedubrakan di pagiku, bertengkar dengan waktu masalah buku dan sepatu.

Ketukan pintu di kamar, hanya akan mendapatkan "Tunggu sebentar!"

Bukan jam tanganku yang terlalu cepat, hanya saja tidurku yang terlambat.

Seandainya aku bisa naik sepeda, akan tiba lebih cepat aku di kampus tercinta.


27 Sep 2012

Mimpi, Gerimis, dan Hal-hal Cengeng Lainnya.

Tapi tidak ada yang serapuh rindu.

26 Sep 2012

Dreams.

Ini adalah fiksi tentang mimpi.
Dimana angan-angan adalah suatu batas yang tidak pasti.
Dimana kamu akan dihadang imajinasi.
Kamu tidak akan takut dan berlari,
aku yakin pasti,
kamu pasti menghampiri.
Ini hanya mimpi.
Sebuah fiksi tentang mimpi.

*

Aku terhentak.
Aku berdiri, sendiri, ditengah ruangan besar tanpa garis horizon.

Ini tidurku.

Lalu aku menyusuri jalan dalam diam.
Putih.

Ini tidurku.

Putih, dimana-mana putih.
Lantai marmer yang entah mengapa terasa di kakiku, dingin.

Ini tidurku.

Aku mau terus kemana?
Ruangan ini tanpa batas.
Aku memang tidak letih, tapi aku tidak mau berjalan lebih jauh dari ini.

Ini tidurku.

Aku mendengar senandung lagu.

Ini tidurku.

Apa aku harus berlari?
Menjauhkah? Mendekatkah?

Ini tidurku.

Aku mencapai sebuah tembok.
Tembok yang sebelumnya tidak pernah terlihat dari sudut pandang lelapku.
Aku berhenti.
Aku harus berhenti.
Tentu saja.

Ini tidurku.

Aku mulai berjalan menyusuri tembok.
Terus, terus sampai jauh.

Ini tidurku.

Hei.
Ada orang disana.

Ini tidurku.

Lelaki.
Seorang lelaki bertengger di tembok.
Duduk di jendela besar yang tertanam di tembok.
Tangannya memetik gitar, dan dari mulutnya terdengar suara berirama.
Dia bernyanyi rupanya.

Ini tidurku.

Dia menoleh.
Tangannya berhenti memetik gitar.
Mulutnya berhenti bersenandung.
Dari sudut bibirnya muncul seulas senyum.
"Hei," begitu katanya, ketika aku diam-diam memandanginya.

Ini tidurku.
Dan aku tidak mau bangun dari mimpi.


Lelaki ini, melewati batas imajinasi yang kubentuk sendiri.

25 Sep 2012

Cerita yang Tidak Akan Pernah Selesai - Seperempat Latihan Menulis, Tigaperempat Iseng.

Siska.
"MAHA!" teriakan itu menggema di ruang kuliah B3, lantai kedua gedung Sutjipto Mangunharjo, tempat para mahasiswa-mahasiswi menangani masalah gigi anak-anak kecil, gedung kedokteran gigi anak.
Mahardika, si empunya nama, menoleh, sedikit malu, ke sumber suara.
Gigi.
Regina.
Regina Kamelia.
Anak kelas sebelah ini, sahabat baik Mahardika, sejak SMP kalau tidak salah.
"Bruk!" sebuah tas kulit berwarna cokelat mendarat dengan cantik di pangkuan Maha.
"Kenapa, Gi?" tanya Maha, dengan suaranya yang pelan, seperti biasa.
"Aku titip dong Ma, hehehe, nanti tolong anterin ke kos aku ya Ma.."
"Kamu kok sembarang... hey! Hey mau kemana Gi?"
Gigi sudah melesat bagaikan anak panah, lincah menuju sasaran, yang entah apa.
Mahardika mendengus, tapi tanpa ditahan menyimpulkan seulas senyum, tidak bisa tertahan.
"Hei, Dika!" seorang perempuan – satu dari seratus sebelas orang mahasiswi di angkatannya – menepuk bahu Mahardika. Buru-buru disimpannya senyuman kecil itu. Cukup dia saja yang tahu. "Sedang apa sih? Hm...?" Pertanyaan Siska berhenti ketika melihat sebuah tas, bukan milik Mahardika tentu.
"Oh," gumam Mahardika seolah mengerti, "ini, punya Gigi... err, Regina."
"Ah," Siska, paham. Tentu saja, Regina.
"Ada apa, Ka?" tanya Mahardika.
"Anu, aku mau minta modul praktikum prosto. Masih ada, kan?"

*

Angger.
Siska melamun. Setidaknya itu yang diperhatikan Angger, walau hanya dari kejauhan. Pandangan matanya kosong, tangannya menggoyang-goyangkan pulpen, untaian rambut keluar dari ikatan, mulutnya seperti menyenandungkan sesuatu, hanya saja tanpa suara.
"Angger, ayo bareng pulangnya," Mahardika, salah satu teman laki-laki, yang terbilang jarang di kampus ini, yang paling pendiam, menyenggol punggungnya.
"Eh, ya, ayo," Angger beranjak dari kursinya, menoleh terakhir kalinya ke kursi Siska, yang dari sudut matanya menangkap bayangan Mahardika.

*

Mahardika.
Sudah pukul empat sore. Gigi memang begini, kebiasaan, sulit sekali balas sms. Mahardika menunggu Gigi didepan rumah kosannya. Pagar hitam menjulang itu digembok, sepi. Mahardika menunggu dengan santai diatas motor merahnya.
Sudah satu jam.
Diambilnya buku sketsa dari dalam tasnya, hobi Mahardika yang tidak pernah bisa ditinggalkan. Matematika.
Sementara otaknya memanas karena soal matematika dasar yang sulit dipecahkannya, langit semakin oranye karena senja.
"Aku pergi lagi ya, Ngger" ucap Mahardika tadi.
"Lho, kamu mau pergi? Aku pikir ada apa kamu ajak aku pulang," Angger heran, setengah kesal juga, padahal kalau Mahardika tidak mengajak dia pulang, dia ingin menghampiri Siska, setidaknya berusaha menghapus mendung di matanya.
Entah elakan apa lagi yang Mahardika lontarkan, sampai akhirnya Angger hanya tidur-tiduran dikosannya, raut wajahnya agak cemas dan memikirkan sesuatu, hanya masalah waktu sampai Mahardika tahu bahwa Angger menghawatirkan Siska.
"Kamu mau ngapain sih Dik?" tanya Angger penuh tanda tanya.
Mahardika menghela napas. Ia juga tidak tahu sedang apa dia disini.

*

Regina.
"ASTAGA! MAHARDIKA!" Gigi melonjak terkejut, Maya dan Desi ikut terkejut. Kemudian mereka berdua tersenyum penuh arti.
"Kenapa Mahardika, Gin?" goda Desi.
"Aku titipin tas aku di dia lho!" ujar Gigi penuh sesal.
"Hah? Gimana ceritanya sih Gin?" Maya dan Desi kebingungan, sementara Gigi sudah keluar dari foodcourt,  mencegat taksi dan pulang ke kosan. Berharap Mahardika tidak menunggunya, atau dia akan merasa sangat bersalah.

Dan, pesan-pesan ini terkirim di malam itu.
From: Angger
To: Siska
Message: Siska bsk jgn lupa makalah Radiologi Dental ya.
Batin Angger bersyukur bahwa dia ditempatkan satu kelompok dengan Siska, menunggu semoga SMS basa basi itu bisa menjadi pembuka yang baik.
From: Siska
To: Mahardika
Message: Dika, makalah radiologi final ada di kamu ya? di print ya. :)
"Drrrt," ponsel Siska bergetar. Berharap mendapat balasan dari Mahardika, menunggu semoga SMS basa basi itu bisa menjadi pembuka yang baik. Angger. Siska mendengus, bukan Angger yang ia tunggu.
From: Mahardika
To: Regina
Message: Gigi cpt pulang jgn kelamaan diluar, dingin, nanti sakit.
Message delivered. Sudah empat jam sejak pukul empat sore. Mahardika memilih untuk tidak pulang.
From: Regina
To: Mahardika
Message: Kamu dimana Maha?
Battery to low for radio use. Sinyal hilang, khawatir Regina mulai muncul.

Keesokan harinya, Mahardika tidak muncul karena flu, Siska yang bad mood sekaligus khawatir karena Angger yang datang dengan makalah yang seharusnya diberikan oleh Mahardika, Angger yang sedikit cemburu - ketika Siska menanyakan kabar Mahardika, dan Regina, yang bolak-balik apotek naik sepeda, mencari obat flu yang paling mujarab untuk menyembuhkan Mahardika.

Keesokan harinya lagi, Regina penuh luka gores karena jatuh dari sepeda. Kemarin hari pertama Regina bisa naik sepeda, ia dedikasikan untuk Mahardika yang terbaring flu dan demam ditemani nyamuk-nyamuk penghuni kamar.

22 Sep 2012

Mewawancarai Diri Sendiri Itu, Gila dan #ForeverAlone, Apalagi Ini Malam Minggu.

Buona notte! Kali ini, saya coba untuk tulis menulis mengenai 'Saya'.
Mungkin (atau pasti)pada bingung yah, like,
"ngapain sih si Tita nih, pengen eksis po?"
"apaan sih si Tita, cari perhatian banget!?"
terus aku kudu piye?
Bukan, bukan. Saya cuma pengen nulis, tapi entah mengapa kalo saya bikin suatu fiksi, keadaannya jadi suram lho. Ceritanya selalu sedih. Sebenernya saya gak tega sih bikin tokoh-tokoh saya jadi sedih, tapi semuanya terjadi begitu saja. Untunglah saya bukan Tuhan. Kasihan hamba-hamba saya kalau saya bikin plot mereka sedih. Saya pengen nggambar, sudah sih. Tapi gak ada scanner. Kalo gak ada scanner gak bisa di scan. you dont say? kalo gak di scan gak bisa masuk laptop. Terus aku kudu piye?

Bikin Q&A aja deh. Biar gaul. Nanya sendiri, jawab sendiri.

Q: Tita, lagi apah?
A: Ini, lagi ngetik.

Q: Gak ngerjain stomatognasi?
A: Nggg, ntar yah abis ini.

barusan aja kaget, karena tiba-tiba buffer YouTube nya jalan.

Q: Kaget ya Ta?
A: Iya, hehe

 Q: Mau tanya dong.
A: Sok.

Q: Kamu gak sukanya apa sih?
A: Ooooooh banyak!

Q: Banyak yah? Pasti males kan nulisnya, kamu selalu bilang "Panjang ceritanya"
A: Yo ganti lah pertanyaannya.

Q: Kamu sukanya apa?
A: Aku gak suka yang mainstream.

 Q: Bukan itu lho pertanyaannya.
A: Mau dijawab gak?

 Q: Oke, maksudnya kamu mainstream apa sih?
A: Definisi mainstream menurut aku itu, arus utama atau aliran utama

Q: Bohong, itu kan kata Google Translate. Seriusan lah.
A: Iyah, tapi aku gak suka yang mainstream. Like, "Nonton Twilight yuk, bagus lho bla..bla..bla", nah sebenernya aku sih gak suka, kalo udah banyak yang suka. Rasanya kaya, I find no originality gitu. Menurut aku, segala hal yang orisinil itu nilainya selalu lebih. Gak mudah terpengaruh sama hal-hal yang biasa. Jadi followers itu gak keren. Lebih baik jadiin trendsetter inspirasi, terus bikin gebrakan baru. Meskipun gak gitu juga sih. Aku gak mengaplikasikan prinsip itu ke segala hal, contohnya, yah Blogspot juga banyak yang suka, toh aku nulis juga kan. Lha kalo aku gak suka, ya aku gak nulis disini.

Q: Kok gak nyambung sih korelasinya sama film Twilight?
A: Eh iya yah, maaf yah, suka ngelantur hehe. Jadi gini lah intinya, saya gak suka, kalo udah banyak yang suka, terutama film sama musik. Contohnya, saya gak suka Taylor Swift bukan karena saya gak suka lho, tapi karena banyak yang suka, saya kehilangan interest sama si Mbak Taylor ini, dan gak nangkep enaknya musiknya doski. Kecuali, kalo dia bener-bener unik. Contohnya, mmm, L`arc~en~Ciel? Banyak kok musik setipe sama Taylor Swift, jarang nemu yg kayak Laruku.

Q: Film Twi...
A: Iya iya ih, kenapa sih sama film Twilight!?

 Q: Apa yang kamu suka tapi mainstream juga?
A: Film? Inception. Keren tuh. Worthy lah walaupun orang bilang "dafuq, lu suka Inception!? That's too mainstream!"

Q: Buku?
A: Ada dua kategori yang saya cari dari buku. Menurut saya, pertama, gaya berbahasa seseorang itu sangat-sangat berkarakter, jadi saya suka banget baca buku yang bahasanya gak biasa, apik. Kedua, obviously, akal, ide, dan jalan pikiran orang itu berbeda-beda, jadi saya juga suka banget baca buku yang ceritanya gak biasa. Itu aja sih, dua kriteria saya buat buku. Simple. Menurut saya, ada penulis yang bisa mencakup dua-duanya, Andrea Hirata, beliau bikin gebrakan yang besar banget di otak kanan saya.

Q: Sana kerjain stomatognasi.
A: Iya deh belum bikin Adam clasp juga.

Q: Apaan lagi tuh?
A: Ah, panjang ceritanya.

Arrivederci!

13 Jan 2012

The Architect




It was a rainy afternoon.
And a thin fog covered that silent, old city. The old, stone made bookstore, the smell of coffee from the cafe behind her, and the raindrops on the flower in the florist beside the cafe. She knew it was raining, but she left her apartment and stood there. Under the rain. With her old blue umbrella. She always stand there when it's 5 pm.
The black suited man, in a coat, also use an umbrella, suddenly appeared. A suitcase in another hand, and the sketch book in his arm. He just passed her by. Without looking.
She never see this man before, but she's not interested. And she enjoys the rain again.

It was a bright afternoon.
A sun almost set in the end of the road, the birds' chirp, and again, the smell of coffee from the cafe behind her. The afternoon sunshine shone in the flowers in florist. She was standing there, whistling the old song she loves. It is almost 5.30 pm, and she watched the sun began to fall down.
That black suited man from yesterdays, still holding a suitcase, and a sketch book. Again he just passed her by. Without looking. She's just curious. Not with that man. But with his sketchbook. And, she enjoys whistling her lovely old song again.

It was a cloudy afternoon.
She's back standing there, in front of coffee cafe, bookstore, and the florist. She's just standing there biting her sour, green apple she got from the florist girl.
That black suited man. And now he's walking and 'reading' his sketch book at the same time. Ignoring the woman who slowly stop her biting on apple. Just passed by, and again, disappear in the down of the road. She has decided. She will talk to him the next meeting.

It was a heavy rain stroke the afternoon.
She's now wearing raincoat, with a candy in her mouth. She can't smell the coffee's aroma, she just can smell the water.
He didn't pass through like the last days.
She waited until it was 6, and no, he didn't come.

It was a drizzling afternoon.
Again, in the front of cafe, she was standing. Feeling nervous for a reason. She found a sketch book. Lied on the ground, the place she stand every day, enjoying the afternoon. She took that sketch book, didn't have any courage to open it, just embraced it with her arms. And standing there. Not like the usual, she's standing quietly, without any move, protecting the sketch book from the tiny-little rain pouring in that bright afternoon.
A drizzle in the bright afternoon.
She waited the man with the black suit come to look over his sketch book.
It was 7 pm.
The drizzle has stopped. The lamps are turned on, the florist has closed, the bookstore become lonelier, but the cafe became more busy. Some lovely couples would like to have a cup or two, to accompany their romantic laughter.
She waited the man with the black suit, still hoping he would come to look over his sketch book.

It was the 6th afternoon since she found the sketch book.
He never come back.
This afternoon, she didn't go out. She was in her apartment, admiring the sketch drawn in the sketch book. She finally have courage to open it.
Buildings. A lot of building.
Parks. Bridges. Roads. Shops. Cafe. Florist. Bookstores.
She admired it, page by page, and come to the last page.
It was her.
With a note in the below page.
"You may not know me. But I know you. Let me show you the world you have left, an art of architecture. Follow your dream, you know what you want"
And she cried, the depressed architecture student, who left the college 3 months ago.







note:
I don't know much about architecture :p
Just wanna write, filling the spare time, and practicing English.
I wanna post the illustration! Wait =)
I'm not a good writer :p

6 Jan 2012

Taman Pelangi


Ummm, I went to this first, before the Ullen Sentalu trip, but didn't think to post this to blog........but let me share =D =D
Taman Pelangi (if I translate it into English, maybe it is become a Rainbow Park) is actually a park with hundreds lamps and a lot of lantern, in any shapes. From the cartoon creatures, animals, and so-on. I found the Donald Duck, Spongebob and Patrick, zebras, dragon, mushrooms, fishes, even the Angry Birds lantern.
As far as I know, Taman Pelangi opens on the night time, around 7 pm, maybe (I don't know the exact time, and I don't know the admission fee, as I went there by 9 pm, maybe it is too late to the gatekeeper to watch the entrance gate =D ) and in the day-time, Taman Pelangi is Monumen Jogja Kembali's park (but I also never been there -.-)
It is a nice park, but not too interesting (for me hehe) as the far you can do is to enjoy the park and take some photoshoots, the park arrangement itself is not too fine, maybe because it was new and still under construction.


the rainbow lantern

4 Jan 2012

Intermezzo

Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Argas duduk di teras rumahnya. Puluhan warna bunga-bunga yang bermekaran dengan kilauan air memang terlihat menyejukkan. Segelas cokelat hangat menantang hawa dingin yang menyergap tubuh. Ingin rasanya berdiri di taman dan berkebun, menyiangi rumput-rumput liar yang mulai rimbun, dan memberi pupuk pada bunga-bunga yang kelaparan itu.

Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Bunda Argas datang membawa sweater, majalah untuk dibaca, dan setoples kue kering. Diletakkannya semua di meja, dan diberikannya sweater itu kepada Argas.
“Begini saja sudah cukup, Bunda. Sudah cukup hangat,” Argas merapatkan jaketnya, “sudah tidak perlu sweater.”
Bunda bersikeras.
“Iya, nanti aku pakai, Bun…” Argas akhirnya menyerah menerimanya. Bunda Argas tersenyum dan masuk ke dalam rumah lagi. Menatap Argas dengan penuh kasih sayang.

Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Pemandangan pegunungan yang indah dari teras rumah Argas tidak terlihat, sekarang tertutup kabut. Biasanya, siang begini terlihat deretan pinus diseberang bukit, batu-batu yang kokoh dan tegar memagari jurang, dan air terjun yang mengintip disela gelapnya hutan. Argas selalu menikmati pemandangan itu, sejak dulu, sejak dia kecil, sebelum dia melanjutkan sekolah di kota besar. Harum alam selalu membawa nostalgia kedalam memori terdalamnya.

Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Masih tidak beranjak dari tempat kesayangannya, kursi rotan dengan bantal-bantal di teras menghadap kebun bunga. Tulang punggungnya patah, Argas tidak bisa beranjak kemanapun, maka duduklah ia di tempat favoritnya, ketika tidak bisa kemana-mana bukanlah suatu masalah. Kebenciannya yang lagi-lagi meluap. Perenggut kaki kekasihnya, seorang pelari, yang dengan segala mimpinya untuk berlaga di olimpiade, kandas. Kecelakaan itu.

Siang ini gerimis lagi. Seperti siang tiga minggu kemarin. Masih teringat air mata Nala, yang lebih deras dari gerimis ini, dan lebih hening dari lembah ini, ketika tahu kakinya lumpuh. Rengkuhan Argas yang tidak terbalas, dan luka yang tidak akan sembuh. Mulut yang kelu, dan mata yang sendu. Kelebat memori yang merayu, membuat Argas hampir tidak mampu membendung air matanya.

Gerimis mulai mereda, namun justru ada yang mengalir deras di pipi Argas, ketika melihat sesosok wanita berkursi roda, dengan payung di tangan seorang lelaki kekar, Ayah wanita itu, tersenyum ke arah Argas. Seketika dia berteriak kepada Bundanya untuk dibukakan pintu pagar. Gerimis mulai mereda, seperti di siang tiga minggu kemarin.

A Little Trip - Ullen Sentalu Museum



Finally, a little vacation!
I have a week-off-before-the-finals started from Dec 31st, and at that day, me and two others (Irnanda and Mentari) decided to go took a vacation. Can't go far away, because, yes, finals will come a week ahead. So, here we go: Ullen Sentalu, Javanese Culture and Art Museum!
It is located on Kaliurang, the upper part of Yogyakarta, Boyong Kaliurang Street, to be exact, Opening hours from 9am to 4pm, closed on Mondays. (as seen on its official website). We must pay an admission fee, each people 25000 rupiahs.
Sooooo, here it begins!
I don't know before, the museum tour is guided! I think it was like walking around and looking everything we like just like another museum I've ever been, but it's not. (I forgot the tour guide name -.-) and we took tour with 4 others people, 3 middle-aged women and an old man, we thought they were Sundanese accent :))
The tour itself told us about the Hamengkubuwono Families and the Story of Kesultanan Yogyakarta and Solo. (My bad! I don't remember the whole stories, lets take a peek on the website, and try to remember all hoho!)

1. Dance and Gamelan room
This room has a Gamelan sets, a grant from Kasultanan Yogyakarta Prince, and there were some beautiful painting about the traditional dances, the one I remember, there was a Tari Topeng painting (maybe it is Masked Dance in English) painted beautifully.

2. Tineke's Poem Room
This room showed the messages, letters, mails, to Tineke (her actual name was GRAj Koes Sapariyam (the daughter of Sunan PB XI, Surakarta)). As long as I can remember is, the tour guide said that the letters were from the cousins, best friends, aunties, and relations that cheering Tineke up because she wasn't allowed to marry the guy she liked, and they were cheering her up for almost 10 years. The letters were originally written in Dutch, but there were Indonesian and Japanese translation.

3. Putri Dambaan Room
This is a room, fully displayed about GRAy Siti Nurul Kusumawardhani (or known as Gusti Nurul). The room displayed the documented photos about her, from her childhood until she's 81 (she officially launched this room, she's still alive, now 90, and live in Bandung). This princess inspired the Mataram princes to not to do polygamy. She liked to ride the horse, which is not common in her era.

4. Batik Room Vorstendlanden
This room is displaying Sultan HB VII - Sultan HB VIII from Kraton Yogyakarta and Sunan PB X until Sunan PB XII from Surakarta (Solo) Batik collection. The things I learned is the difference about Yogyakarta and Solo batik pattern. While Solo's has a small, rigorous pattern, and having a darker color, like dark brown, brown, and Yogyakarta's has a bigger pattern, and lighter color, as white, yellowish. There were such a nice batiks, and they have own philosophy, as the 'Udan Liris' (if I'm not mistaken) told about the wealth, and the one I really can't remember that told about health, the older covered the sick people with batik in that pattern and believe it can heal the sicks.

That were some I can remember after seeing the official link
The sad truth is................we were not allowed to take a photograph inside the museum, we can only take it outside. But, well, we took a lot of. Hehehe.
Now, talking about the place.
It was SUCH A BEAUTIFULLY NATURAL! Tress are grown everywhere, make it quiet and calm, the building was built by the stones, and the cold sensation because the museum was built in the foot of Merapi mountain.

here are some pics!


unnamed statues before the exit



me, on gate haha